mendung di lereng merapi 7

Baca Material Hitam di Lereng Barat Merapi Bukan Kubah Lava Baru Pada periode pengamatan Selasa, 2 Februari 2021, pukul WIB, Gunung Merapi tercatat 10 kali meluncurkan guguran lava pijar dengan jarak luncur maksimum 800 meter ke arah barat daya dengan deformasi yang terukur dari Pos Babadan rata-rata 0,3 cm per hari dalam tiga hari. Apasaja destinasi wisata yang bisa kamu kunjungi di Lereng Merapi Yogyakarta? Simak jawabannya di bawah ini ya! Di antaranya ada desa mati. Yogyakarta Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta empat kali meluncurkan guguran lava pijar. Jarak luncur maksimum 900 meter ke arah barat daya, arah hulu Kali Krasak dan Boyong, pada Rabu pukul 00.00 WIB sampai 06.00 WIB. Terngiangpesan Kanjeng Sunan Muria lewat pameling, "Raden, sebelum ke Muria sebaiknya berdiamlah dahulu di sebuah padepokan yang aku beri nama Ngadem di kaki gunung Merapi, ada beberapa santri Muria yang telah menunggumu disana, pergunakanlah nama Panembahan Pamungkas untuk tetenger Raden dan aku akan mengunjungi Raden seperti saat yang telah aku janjikan." Die Zeit Bekanntschaften Er Sucht Sie. Dan pada hari yang sudah ditetapkan berangkatlah pasangan muda itu menuju Sangkal Putung dan baru kemudian menuju ke Jati Anom. Sepasang suami itu telah meninggalkan Tanah perdikan Menoreh, kuda mereka berlari tidak begitu cepat, mereka akan menempuh perjalanan yang agak jauh dan mereka tampak bergembira dan tugas itu dirasakannya adalah tugas yang sangat menyenangkan. "Kakang Agung Sedayu tentu sudah memikirkan pengganti kita Rara" "Apa maksudmu Kakang ?" sahut Rara Wulan. "Maksudku tugas – tugas kita di barak pasukan khusus Rara" Rara Wulan menganggukkan kepalanya. Panas matahari telah menyengat tubuh mereka dan debu juga telah menempel dikulit pasangan itu. Sementara itu di Sangkal Putung, wajah kegembiraan terpancar pada setiap penduduknya, mereka mendapatkan panen yang berlimpah dan merekapun menjalankan perdagangan dengan aman, jarang sekali ada penyamun atau perampok yang memasuki kademangan itu, mereka tahu siapa Ki Swandaru Geni putra Ki Demang itu. Ketentraman dan ketenangan terlihat dimana – mana Jika saja ada perampok yang berani masuk Sangkal Putung maka biasanya yang tersisa adalah namanya saja, sedangkan raganya tentu sudah terbenam di tanah yang subur itu. Nampak seorang perempuan berambut panjang terurai sedang bermain dengan anak kecil di halaman rumah Swandaru Geni. Terdengar suara berat dari samping rumah, " Swatantra janganlah terlalu manja" Anak kecil itu terus menggoda ibunya seolah tak menghiraukan suara ayahnya. "Biarlah kakang, bukankah dulu sewantu kecil kaupun juga seperti itu" sahut Pandan Wangi. "Kau jangan terlalu memanjakannya Wangi, jika terlalu manja maka jika sudah besar dia akan menyusahkan kita, menjadi anak yang cengeng" kata Swndaru meyakinkan istrinya. "Ah .. kakang, jangan berkata begitu" "Ayo, Swatantra kita masuk, ayahmu agaknya hari ini kurang kurang sesaji, dari pagi marah terus" kata Pandan Wangi seraya mengajak anaknya masuk ke dalam rumah induk Kademangan Sangkal Putung. Swandaru yang bertubuh gemuk itu mengerutkan dahinya, nampaknya dia kurang jelas mendengar perkataan istrinya itu, terlihat pipinya yang tambun itu bergerak gerak. Segera dilangkahkan kakinya menuju pos perodaan terdekat, ditemuinya para pengawal dan segera membicarakan kesenangan barunya yakni memelihara kuda dan seperti biasanya setelah bicara banyak maka segera ia menguap dan membaringkan badannya yang besar itu, gardu perodaan itu seketika menjadi sempit. Nampaknya sore itu akan ada orang yang bernasib kurang mujur. Keributan di Pasar pagi tadi yang nampaknya sudah selesai ternyata masih berlanjut, bahkan seorang nampak penjual kain itu telah datang ke rumah seorang gadis yang bernama Sridewi ditemani oleh seorang yang berbadan tidak terlalu tinggi tetapi kekar dan mempunyai kumis melintang. "Sridewi, segera bayarlah semua kerugianku, akibat perbuatanmu seluruh barang jualanku menjadi tidak laku" teriak seorang perempuan didepan pintu. "Ayo, cepat ganti" teriak perempuan penjual kain itu. Nampak dari dalam rumah, seorang lelaki tua keluar dan berkata," Ada apa Nyai ? "Akibat perbuatan anakmu aku telah menjadi rugi" "Bukankan tadi aku sudah memberikan uang pengganti saat Dewi secara tidak sengaja menjatuhkan kain daganganmu, kain itu tidak kotor apalagi rusak Nyi ?" kata ayah Sridewi itu. "Tetapi kedaiku menjadi sepi karena itu" "Tentu tidak karena Sridewi Nyi" "Diam kau tua bangka ! sekarang bayarlah kerugianku atau aku akan mengambilnya sendiri di dalam rumahmu." kata penjual kain itu lantang. Ternyata keributan itu sampai ketelinga para pengawal kademangan segeralah Ki Truno sebagai pimpinan kelompok kecil pengawal itu melapor pada pimpinan mereka. Meluncurlah Ki Swandaru diiringi beberapa pengawalnya, dengan naik kuda jantan berwarna gelap menuju ke tempat yang ditunjukkan pengawalnya, dia telah berhenti di muka rumah Sridewi itu. Setelah turun dari kudanya," Ada apa ini, Ki Sentanu ?" tanya Swndaru kepada lelaki tua yang ternyata adalah ayahnya Sridewi. "Anakmas Swandaru, tadi pagi kami telah kepasar untuk membeli kain di kedai nyi Nuriah ini tetapi tanpa sengaja Sridewi telah menjatuhkan kain dagangan yang lainnya, kami sudah meletakkan kain itu pada tempatnya semula, tetapi nyi Nuriah ini marah – marah dan kami diminta membayar kerugian akibat kain yang terjatuh itu dan kami telah membayarkannya, uang kami telah berkurang dan tidak cukup lagi untuk membeli kain" Jelas ki Sentanu kepada Swandaru. "Apakah demikian kejadiannya nyi ? tanya putra Ki Demang Sangkal Putung itu. "Benar Ki Swandaru, tetapi akibat kejadian itu aku menjadi rugi sebab setelah itu tidak ada pembeli yang mampir di kedaiku" jawab Nyi Nuriah. "Ah . tentu bukan karena Sridewi nyi" desis Swandaru. "He ! Lalu karena apa orang gendut ?" sahut orang yang pendek kekar di samping nyi Nuriah itu. "Siapa kau ki sanak ?" tanya Swandaru. "Aku adalah suruhannya nyi Nuriah, kau mau apa ?" Swandaru tertegun mendengar perkataan orang itu, dengan kening yang berkerut ia maju selangkah dan katanya," Kau berkata apa padaku kisanak ?" "He, kau mau apa ?" dengan mata melotot dan bertolak pinggang orang itu berkata setengah berteriak kepada Swandaru. Tanpa menjawab pertanyaan orang itu ternyata Ki Swandaru Geni telah bergerak. Sebuah tamparan keras telah membentur pipi orang suruhan nyi Nuriah itu. Sementara itu dengan tubuh gemetar tampak nyi Nuriah akan berkata sesuatu tetapi mulutnya terbungkam dan badannya terasa gemetaran saat terdengar suara Swandaru membentaknya" Diam kau nyi!" "Setan kuburan" umpat orang suruhan nyi Nuriah itu yang ternyata bernama Suromurni sambil meraba pipinya yang memerah. "Kau mau apa ?" tanya Swandaru, "Gila, aku akan mematahkan lehermu" teriak Suromurni, dengan mata merah segera ia melangkah maju sambil menjulurkan tangannya. "Berhenti atau aku akan menghajarmu" teriak Swandaru Suromurni tak menghiraukannya, dengan sepenuh kekuatan dia meloncat menerkam leher Swandaru. Melihat gerakan itu, segera Swandaru menggeser tubuhnya kesamping kanan dengan cepat tangan kanannya menghantam lambung Suromurni, akibatnya tubuh pendek itu terlempar kesamping dan jatuh berguling – guling. "Setan kuburan, aku tidak akan mematahkan lehermu tapi aku akan membunuhmu, orang gila" teriak Suromurni dengan penuh kemarahan. Segera ia berlari dan menyerang Swandaru lagi, tangannya mengepal memukul kepala dan kakinya tampak menendang perut. Dengan gerakan yang sangat sederhana Swandaru bergeser kesamping kiri, merasa tidak mengenai sasaran, segera kaki Suromurni itu bergerak melingkar mengejar lambung lawannya. Sebuah serangan yang menurut Swandaru sangat tidak berarti apa – apa, dengan satu gerakan egos kaki kanan mundur setengah lingkaran kebelakang, dia sudah terbebas dari serangan itu. Terdengar Suromurni menggeram marah, segera ia mundur beberapa langkah, terlihat wajah Swandaru sedikit menegang. Dengan berteriak marah sambil berlari nampak Suromurni melancarkan serangan dengan satu tendangan jontrot, satu kaki kanannya melayang menghantam arah dada lawannya. Kali ini Swandaru tidak menghindar tetapi justru kaki lawannya itu di sambutnya dengan sebuah pukulan keras, terjadilah benturan yang tidak seimbang, tidak berhenti sampai disitu, sebuah pukulan berikutnya telah menghantam dada Suromurni. Sekali lagi tubuh itu jatuh dan berguling ditanah yang berdebu di halaman rumah Ki Sentanu. Ki Sentanu melihat Suromurni terjatuh dengan dada yang berdebar – debar, perasaan khawatir merayap didadanya, takut setelah itu orang suruhan nyi Nuriah itu akan melampiaskan amarah kepadanya. Sementara badan nyi Nuriah semakin lemas melihat kejadian itu, pedagang kain itu menyadari apa yang akan terjadi setelah peristiwa ini, pastilah Swandaru akan menghukumnya sehingga dia tidak bisa berjualan di pasar lagi, perasaan menyesal telah hadir didadanya, tetapi semuanya sudah terlambat. Melihat lawannya terjatuh maka dengan loncatan kecil Swandaru telah menjangkau baju lawannya dengan tangan kanannya dan segera mencekeramnya. "Ora waras !, He ! Apakah kau masih melawan ?" geramnya. Suromurni benar- benar telah kehilangan nalarnya, dengan membabi buta tangannya telah menyerang wajah Swandaru. Tak mau wajahnya tersentuh tangan lawan maka dengan sekali hentak, tangan kirinya telah menhantam dada Suromurni akibatnya terlihat tubuh itu terdorong kebelakang dan jatuh menelungkup mencium bumi, Suromurni telah pingsan. Pengawal kademangan itu segera menarik nafas, setelah melihat akhir perkelahian itu. "Ki Sentanu sekarang semuanya sudah selesai, laporlah kepada pengawal bila engkau beserta anakmu mengalami kesulitan lagi karena pokal orang- orang ini," kata Swandaru. Selesai bicara kepada ayah Sridewi segera Swandaru mendekati Nyi Nuriah, katanya" Apa kau tahu akibat perbuatanmu ini nyi ? Jangan kau semena – mena kepada orang lain, jangan kau ulangi perbuatan seperti ini lagi, bawa tubuh Suromurni dan mulai besok sampai satu beberapa hari kedepan, kau tidak boleh kepasar lagi sampai Ki Jagabaya memanggilmu, apa kau mengerti nyi Nuriah ?" "Bagaimana aku mencari nafkah bagi keluargaku Ki Swandaru, aku mohon ampun ?" terdengar nyi Nuriah merengek. Terlihat Ki Swandaru Geni terdiam, dipandanginya nyi Nuriah. "Sekarang kau merengek sedangkan tadi kau membentak Ki Sentanu, bagaimana kalau seandainya aku dan pengawal kademangan ini tidak datang ? He !, Apa katamu Nuriah" bentak Swandaru. "Ampun Ki Swandaru" gumam nyi Nuriah sambil menangis. Kepada pengawalnya, pemimpin Sangkal Putung telah memerintahkan supaya menyelesaikan sisa permasalahan itu dan secepatnya menyuruh nyi Nuriah dan Suromurni pergi bila sudah sadarkan diri. Sementara itu Swandaru dengan gagahnya telah memacu kuda jantannya yang berwarna gelap kembali ke induk Kademangan. "Swandaru, nampaknya kau terlalu sibuk akhir – akhir ini" kata Ki Demang sambil mengelus – elus jenggotnya yang sudah berwarna putih, ketika mereka berdua sedang duduk di pendapa saat wayah sepi bocah. "Ya, ayah Sangkal Putung harus menjadi Kademangan yang besar dan makmur" kata Swandaru pendek. Ki Demang mengerutkan keningnya mendengar jawaban anak sulungnya itu, tidak seperti biasanya. "Mengapa ?" desah Ki Demang dalam hatinya. "Swandaru, saat ini kau adalah pemimpin pengawal Sangkal Putung dan pada saat tertentu kau mewakili aku mengurusi seluruh masalah Kademangan ini, tetapi ketahuilah anakku bahwa kau saat ini belum menjadi Demang Sangkal Putung selama aku masih hidup" kata Ki Demang, sejenak ia berdiam diri menunggu tanggapan anaknya. Swandaru masih berdiam diri, ternyata pikirannya tidak tertuju kepada pembicaraan ayahnya. Tidak segera mendapat jawaban dari anaknya, tampak Ki demang merenung, keningnya berkerut dalam. "Apakah yang kau pikirkan Swandaru ?" tanya ayahnya yang sekan tahu apa yang dipikirkan oleh Swandaru. "Ayah aku sekarang ini sebenarnya sedang memikirkan Kitab Guru yang masih berada di tangan kakang Agung Sedayu" jawab Swandaru sambil menatap tiang soko guru di pendopo itu. "Bukankan kakang bisa meminjamnya dari kakang Agung Sedayu ?" terdengar suara lembut dari dari ruang dalam. Ki Demang segera menoleh kearah suara itu," Kau belum tidur Pandan Wangi, apakah Swatantra sudah tidur ?" "Sudah ayah" jawab Pandan Wangi sambil melangkah mendekati suaminya dan segera duduk disampingnya, sambil memijit – mijit tangan Swandaru Geni. "Kau benar Wangi, rasa – rasanya ada yang mendesakku untuk segera meningkatkan ilmuku" "Kau dapat meningkatkan ilmumu kapanpun Swandaru, saat siang kau ada diantara pengawal dan malam harinya kau dapat berada disanggar, dua pekerjaan dapat kau lakukan sekaligus " kata ayahnya. "Seharunya bisa ayah, tetapi kakang Swandaru ini selalu malas bergerak ayah jika malam hari" sahut Pandan Wangi. "Bukankan jika kita banyak bergerak, tubuh kita akan terjaga kesehatannya dan tubuhmu akan cepat menyusut Swandaru" kata Ki Demang. "Benar kakang, jika malam hari kau harus bergerak dan berpindah – pindah tempat supaya tubuhmu berkeringat dan jika kakang tekun, aku yakin ilmu kakang akan mengalami banyak kemajuan," "Apakah kalau malam hari kau sering berlatih, anakku ?" tanya Ki Demang. Kepala Swandaru masih tertunduk dan pikirannya menerawang jauh. Tak terasa malam semakin larut. "He.. Swandaru, apakah kau pada malam hari masih sering bergerak atau berlatih olah kanuragan" kata ayahnya mengejutkannya. "Tentu .. tentu ayah, aku berlatih bersama – sama Pandan Wangi saat Swantantra tidur" jawabnya sekenanya. "Kau berlatih apa saja ?" tanya Ki Demang. "Bermacam – macam ayah, kami berlatih berbagai jurus dengan posisi yang berbeda – beda" kata Swandaru meyakinkan ayahnya. Terlihat Ki Demang mengangguk – anggukkan kepalanya, serta membayangkan anaknya tentu berlatih keras serta tekun, mengembangkan ilmunya, ilmu dari perguruan orang bercambuk. "Baiklah Swandaru suatu saat aku akan melihat cara kalian berlatih bersama, tentu saja menunggu Swatantra tidur supaya tidak mengganggu kita semuanya" kata Ki Demang sambil berdiri dan menekan pinggangnya dan segera dilangkahkan kakinya menuju ke biliknya. Sepeninggal ayahnya, segera terdengar pekik kecil Swandaru, terasa lengannya bak disengat tiga lebah indukan, ternyata Pandan Wangi dengan gemasnya telah mencubit lengan suaminya. "Eh, kenapa kau ini ? Apa salahku ?" tanya Swandaru sambil menyeringai kesakitan. "Kenapa kakang katakan ke ayah, kita selalu latihan bersama waktu malam hari ?" tanya Pandan Wangi. "Kenapa ? Bukankah benar, saat malam harilah aku selalu berlatih" kata Swandaru gusar. "Kenapa kakang katakan kita, tentu artinya aku dan kakang, apalagi dilakukan setelah anak kita tertidur, dengan macam – macam jurus dengan berbagai posisi, latihan apa itu kakang, coba jelaskan ?" kata Pandan Wangi pelan dan dipandanginya suaminya itu dengan mata melotot. "Suatu saat ayah akan melihat latihan kita" sambungnya. Kening Swandaru tampak berkerut, katanya" Apakah tadi aku mengatakan demikian pada ayah ?" "Iya, kakang mengatakannya dengan amat sangat yakin" Sesaat kemudian meledaklah tawa Swandaru memenuhi pendapa rumahnya, tubuhnya terguncang dan pipinya nampak menggelembung, sementara wajah Pandan Wangi yang segar itu nampak memerah seperti buah jambu air yang sudah masak di pohon. Sembari tertawa Swandarupun berkata," Baiklah nanti aku akan melarang ayah untuk melihat latihan khusus kita ." Mendengar perkataan suaminya, segera cubitan Pandan Wangi telah mendarat untuk kedua kalinya di lengan Swandaru. "Ampun, ampun Wangi, maaf aku tidak sengaja mengatakannya" terdengar Swandaru merengek pelan. "Awas kau kakang !" terdengar Pandan Wangi menggerutu, wajahnya cemberut dan terlihat kesal. Meskipun tidak terlalu terang lagi, nyala ublik di empat sudut pendapa itu masih setia menemani mereka, keduanya membicarakan tentang perkembangan buah hati mereka, Swatantra. Malampun semakin larut, bulan terlihat bulat menerangi alam, terdengar sayup – sayup suara angin menerpa pintu regol yang tidak tertutup rapat, tempat rondapun telah dipenuhi anak – anak muda yang menjalankan tugasnya, terlihat juga sebagian pengawal kademangan telah nganglang menjelajahi padukuhan – padukuhan yang termasuk wilayah kademangan Sangkal Putung. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah mendekati padukuhan induk kademangan, kuda merekapun tampak berlari tidak terlalu kencang. "Dadaku berdebar – debar Wulan" terdengar suara Glagah Putih "Kenapa kakang ?" tanya Rara Wulan sembari memperlambat laju kudanya. "Aku kurang mengerti, setiap kali akan bertemu dengan kakang Swandaru dadaku serasa berdebar-debar." "Sudahlah, kenangan masala lalu yang sebaiknya kakang hapus, perlakuan kakang Swandaru yang selalu merendahkan kakang Agung Sedayu mungkin sangat membekas di dada kakang," Tidak segera menyahut perkataan istrinya, pikirannya melambung jauh mengenang masa – masa lalunya bersama kakak sepupunya serta Kyai Gringsing juga ayahnya, saat pertama membangun Padepokan kecil di Jati Anom itu. "Hem .., lama sekali aku tidak bertemu, semoga kakang Swandaru tidak berlaku seperti dahulu " desahnya. Kuda merekapun terus bergerak lambat. "Apakah kita akan langsung menuju ke rumah Kakangmbok Pandan Wangi, kakang ? tanya istrinya Tampak Galagah Putih menganggukkan kepalanya, katanya" Ayolah Rara, kita langsung menuju rumah Ki Swandaru" bersamaan itu segera di hentakannya kendali kudanya, kedua kuda itu telah lari berderap meskipun tidak terlalu kencang. Saat mendekati gardu perondaan segeralah di perlambat lari kudanya bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah meloncat turun sambil menyapa anak muda yang berdiri di muka gardu itu. "Selamat malam kisanak" terdengar suara Glagah Putih menyapa. "Selamat malam, siapakah kisanak ini ?" tanya anak muda itu. "Glagah Putih dan ini istriku Rara Wulan ki sanak, kami datang dari Tanah Perdikan Menoreh dan ingin betemu dengan Ki Swandaru," "Apakah harus malam ini Ki sanak, sekarang sudah larut malam, kemungkinan Ki Swandaru tentu sudah tidur" anak muda itu berkata dengan ramahnya. Di pandanginya wajah anak muda itu, merupakan suatu kewajaran bila anak muda itu tidak mengenalinya, tetapi iapun tidak ingin menundanya sampai esok pagi, menunggu di banjar padukuhan bersama istrinya, lalu katanya," mohon maaf ki sanak, sebenarnyalah aku adalah sepupu kakang Agung Sedayu yang tinggal di Menoreh suami dari adik Ki Swandaru" Bak disengat raja kalajengking di tengkuknya, saat mendengar nama Agung Sedayu telah disebut pasangan suami istri itu, segera pemuda itu membungkuk hormat." Maaf kisanak aku belum mengenalmu" Pembicaraan itu ternyata mengundang anak muda yang lainnya segera mereka berkerumun di sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan. "He , anak tinggi kurus, kaukah itu" terdengar suara lantang dari belakang kerumunan anak – anak muda itu, nampak pemuda berbadan bulat seperti telor bebek dengan tergesa – gesa menghampiri Glagah Putih dan segera mengguncang pundaknya. Glagah Putihpun segera tertawa, sembari berucap," Rupaya kau kakang Demung, he, kenapa badanmu seperti ini ? Apakah kau telah menelan angin puting beliung itu seluruhnya ?" Mendengar kelakar Glagah Putih, meledaklah tawa seluruh pemuda yang berdiri di gardu ronda itu," Kakang Glagah Putih dengarlah, kemarin anginnya biyung Sumpini juga telah di telannya" sela anak muda lainnya, mendengar celoteh itu Demung dan Glagah Putihpun tertawa terbahak bahak, sementara Rara Wulan nampak tersenyum. "Ayolah, kuantar ke rumah Ki Swandaru Geni, aku baru saja dari pendapa rumahnya" kata Demung sambil menarik tangan sahabatnya itu. Setelah berpamitan maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera menuntun kudanya mengikuti Demung yang berjalan didepan. Kedatangan tamu yang tak diundang tetapi membawa berkah bagi seluruh keluarga Ki Swandaru di Sangkal Putung. Airmata telah menetes di pipi Pandan Wang dan Rara Wulan, mereka berpelukan seakan tak mau dilepaskan, rasa rindu dan keharuan telah mencengkam jantung kedua perempuan itu. Swandaru juga nampak mengguncang bahu Glagah Putih, katanya," Kau menjadi semakin dewasa Glagah Putih, badanmu semakin keras, tentu ilmumu sekarang sudah sundul wuwungan dan tentu kau melaju dengan pesat meninggalkan kami semua di Sangkal Putung," Dada Glagah Putih terasa berdesir mendengar ucapan adik seperguruan kakak sepupunya itu. "He, kenapa kau terdiam" gurau Swandaru "Seolah aku bermimpi kakang, sudah lama aku tak berkunjung ke Sangkal Putung" jawab Glahag Putih sekenanya. Pandan Wangipun segera menghampiri Glagah Putih, seraya berkata," Kau semakin gagah Glagah Putih dan semakin tampan, tidak rugi Rara Wulan telah memilihmu," "Ah, mbokayu mulai mengejek aku" balas Glagah Putih, Rara wulan pun tersenyum sipu dan katanya," Jangan katakan itu mbokayu, nanti kakang Glagah Putih akan segera berlari sipat kuping mencari kaca pengilon" Terdengan ledakan tawa Swandaru, sementara Pandan Wangi dan Rara Wulan tertawa kcil, hanya Glagah Putih yang memasang muka kelam. "Rara kau pintar melihat dan memanfaatkan keadaan, seandainya kakang Swandaru dan kangmbok Pandan Wangi tidak disini, tentu sudah aku pluntir hidungmu" geram Glagah Putih. Ketiganya tertawa, bahkan Demung yang sedari tadi diam ikut tertawa pula, tetapi dihadapan Ki Swandaru dia tidak berani mengejek temannya itu. "Demung, kau boleh meninggalkan kami, kembalilah ke gardu ronda, biarlah aku yang mengurus tamu – tamu ini" terdengar suara Ki Swandaru kepada Demung. "Baiklah Ki Swandaru, Demung mohon diri" kata Demung dan segera melangkahkan kakinya kembali menuju ke gardu ronda. Malam itu suasana rumah Ki Swandaru telah menjadi sedikit sibuk, dapur yang tadinya lengang sudah terlihat beberapa wanita yang mempersiapkan hidangan, bahkan Ki demangpun telah terbangun dari mimpinya melihat Swandaru berlatih bersama Pandan Wangi. Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyambut kehadiran Ki Demang dengan hormat, layaknya menyambut orang tua yang menjadi ayah mereka. Pembicaraanpun berlangsung hangat meskipun udara malam yang dingin telah menyentuh tubuh mereka. "Baiklah Glagah Putih, sekarang ceritakan apa yang kau bawa dari Menoreh," kata Swandaru. "Bagaimana kesehatan ayah Argapati di Menoreh ? tanya Pandan Wangi pula. Glagah Putih dan Rara Wulan segera membetulkan duduknya, terlihat mereka duduk bergeser merapat. "Kakang Swandaru sekeluarga biarlah aku menyampaikan dulu salam dari seluruh keluarga di Menoreh untuk keluarga di Sangkal Putung" kata Glagah Putih memulai pembicaraan. Mereka yang ada di pendapa itu menganggukkan kepalanya. Selanjutnya Glagah Putih mulai bercerita tentang keadaan Menoreh saat kedatangan orang dari Argopuro yang menyebut namanya sebagai Ki Bondan Ketapang sampai dengan kejadian Gumuk Kembar, perang tanding antara kakak sepupunya melawan orang dari Argopuro itu sampai kehadiran seseorang berjubah lurik dan memakai topeng kayu. Pendapa itu terasa hening, dinginnya udara malam tak dirasakan oleh mereka, jantung orang yang mendengarkan cerita itu berdegub kencang dan merekapun segera membayangkan apa yang terjadi di Menoreh, bahkan Swandaru segera beringsut mendekat ke Glagah Putih, tak ingin ketinggalan Pandan Wangipun segera bergeser kearah Rara Wulan sambil mengatupkan bibirnya yang basah oleh air matanya itu. Glagah Putih berhenti sejenak, ditariknya nafasnya dalam – dalam, seolah hendak menata perasaannya yang telah bergetar, hatinya telah bergejolak mengenang peristiwa Gumuk Kembar itu, bukan karena perang tanding kakak sepupunya melainkan kenangan hadirnya orang tua yang sangat dihormatinya itu. "Ayo teruskan Glagah Putih" pinta Pandan Wangi dengan nada mendesak. Tak terasa tubuhnya telah keringat, dia diam sejenak, seolah tak menghiraukan permintaan mbokayunya. "Apakah kau sakit ngger, istirahatlah dulu, besokpun tidak apa – apa ceritamu kau lanjutkan, kami tentu merasa senang mendengarnya." ujar Ki Demang. Sementara itu Rara Wulan memahami keadaan suaminya, tentu suaminya mengalami sesuatu yang menggoncang jiwanya, saat itu ia mendengar dari ki Jayaraga bahwa seorang Glagah Putih yang berteman dengan Raden Ranga putra raja Mataram itu telah menangis di pangkuan orang tua bertopeng itu. Sedangkan Swandaru dan Pandan Wangi benar – benar merasakan keanehan melihat putra Ki Widura itu telah mandi keringat. "Kyai Gringsing telah hadir diantara kami kakang" desis Glagah Putih perlahan sambil menahan gejolak hatinya, terlihat anak muda mengepalkan tangannya kuat – kuat seakan hendak meremas batu hitam di halaman rumah ki Swandaru. Bagai petir menyambar rumah Swandaru, ledakan sangat dahyat telah mengguncang seluruh dada yang mendengarkannya, jantung mereka seakan mau lepas dari tangkainya, mata ketiga orang Sangkal putung itu terasa berkunang – kunang, mereka telah hilang penguasaan dirinya. Bibir Swandaru terasa bergetar tetapi tak satu patah katapun keluar dari mulutnya. "Apa aku tidak salah dengar ngger ? Kyai Gringsing hadir di Gumuk Kembar itu" terdengar Ki Demang berkata memecah ketegangan itu. "Benar Ki Demang" jawab Glagah Putih singkat. "Guru telah hadir kembali" terdengar gumam Swandaru perlahan seakan ditujukan kepada dirinya sendiri tetapi semua yang ada telah mendengar gumam itu. "Ayah dan semua yang ada disini, marilah kita panjatkan syukur kepada Junjungan kita dan kepada Pencipta alam semesta ini, bahwa guru telah kembali dan hadir diantara kita, meskipun selama ini sebenarnya guru takkan pernah hilang dari hati kita" kata Swandaru. Sementara itu Pandan Wangi telah tertunduk, air matanya yang telah mengering kini membasahi pipinya lagi, tak ada kekuatan untuk menahan air mata itu, baginya orang tua itu telah menyelematkan dirinya dari kehancuran dan telah mengantarkan dirinya sampai pada kehidupan yang sekarang, kehidupan di Sangkal Putung bersama suami dan anaknya. "Bagaimana kesehatan guru,Glagah Putih ?" tanya Swandaru tak sabar. "Sehat kakang, bahkan menurut kakang Sedayu Kyai Gringsing justru nampak segar dan nampak muda di usianya, mohon maaf kakang, saat itu aku telah kehilangan pengamatan atas diriku dan sampai terlupa memperhatikan wadag orang bertopeng itu" kata Glagah Putih perlahan. Pandan Wangi benar – benar hanyut pada kenangan masa lalunya saat – saat kehadiran kakaknya Sidanti dengan orang tua yang bernama Ki Tambak Wedi. Di kenangnya pula saat orang tua yang senang berganti nama mengobati luka ayahnya. "Kenapa Kyai Gringsing memakai jubah lurik dan bertopeng, ngger ?" tanya Ki Demang. Sesaat kedua orang dari menoreh itu kebingungan menjawab pertanyaan Ki Demang. "Tentu guru mempunyai alasan sendiri ayah, apakah ayah ingat sewaktu pertama kali guru datang ke Sangkal Putung ini ? Guru juga mengenakan topeng" Swandaru mencoba menjelaskan. Mendapat jawaban anaknya, tampak Ki Demang mengerutkan keningnya, dicobanya mengingat –ingat kehadiran Kyai Gringsing saat itu. Tak terasa malam semakin larut, kentongan dengan nada daramuluk telah terdengar dari arah banjar padukuhan, sementara itu Swandaru telah mengetahui dari Glagah Putih bahwa saat ini gurunya sedang melawat ke arah barat, sedangkan Glagah Putih juga tak bisa menyebutkan kapan gurunya akan kembali, tetapi kehadiran gurunya serasa memacu dirinya untuk segera meningkatkan ilmunya dan keinginan segera pergi ke Menoreh semakin besar. Glagah Putih bersama Rara Wulan telah memasuki gandhok yang telah dipersiapkan, segera mereka merebahkan diri, hari itu mereka menempuh perjalanan cukup panjang meskipun dengan berkuda. Pagi yang cerah telah datang memulai hari baru, Sepasang suami istri dari Menoreh itu benar – benar menikmati suasana Sangkal Putung yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Swandaru telah banyak berubah, pelajaran hidupnya telah menuntun pada ketetapan yang santun urip bebrayan nan agung. Seorang anak muda yang dulunya seorang penakut dan pengecut telah membuka mata hatinya, meskipun tak menghilangkan sifat dan kepribadian seluruhnya namun kini ia telah menjadi Swandaru yang lain dari pada yang dulu. Banyak orang tidak percaya akan perubahannya pada dirinya, sebab sifatnya yang meledak – ledak kadang – kadang masih nampak dalam kesehariannya, tetapi nampaknya Pandan Wangi terus mengingatkannnya siang dan malam tanpa merasa jemu, sebenarnyalah bahwa seorang Pandan Wangi adalah perempuan yang taat dan berbakti pada suaminya. Pada sore harinya setelah berpamitan kepada semua keluarga maka sepasang suami istri dari Menoreh itu segera meninggalkan Sangkal Putung menuju Jati Anom, menuju sebuah padepokan kecil yang dihuni oleh Ki Widura beserta para Cantriknya. Kepada pasangan muda dari menoreh itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berjanji bahwa pada hari kedua mereka akan menyusul ke Jati Anom dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Menoreh bersama – sama. Sebuah perjalanan yang tidak terlalu jauh antara Sangkal Putung ke Jati Anom sebenarnya dapat ditempuh lebih cepat tetapi sepasang suami istri itu tidak terlalu tergesa – gesa, mereka benar - benar menikmati perjalanannya, bahkan mereka sempat berhenti di tempat yang agak tinggi, keduanya menikmati pemandangan sawah yang hijau menghampar sangat luas. "Kakang kecemasanmu sama sekali tidak terbukti, nampaknya kakang Swandaru telah banyak berubah" kata Rara Wulan memulai pembicaraan. "Hatiku juga mengatakan demkian Rara, semoga semuanya berubah seiring dengan perubahan kakang Swandaru" sahut Glagah Putih. "Apa maksudnya kakang ?" "Pandangannya terhadap Kakang Sedayu, juga bisa menjaga perasaan mbokayu Pandan Wangi dan yang terpenting adalah kakang Swandaru nantinya bisa menyebarkan rasa tentram di hati rakyatnya, seperti yang dilakukan oleh Ki Gede Menoreh." "Kenapa selama ini orang selalu menggambarkan seorang Swandaru Geni adalah seorang yang angkuh, sombong dan sifat - sifat kurang terpuji lainnya, kakang" "Saat itu memang demikian adanya Rara, akupun merasakan dan mengalaminya bahkan Raden Rangga sekalipun, tetapi sekarang sudah banyak berubah. Kalau ada orang yang bercerita tentang keburukan yang melekat pada kakang Swandaru maka nampaknya orang itu tidak punya cerita lainnya, Rara." "Benar kakang, bukankah umur sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang ?" "Itulah yang kumaksudkan Rara, mengapa kita selalu sulit menerima perubahan pada diri seseorang ? Apalagi perubahan yang menuju kebaikan dan sangat mengherankan bila seseorang menyenangi keburukan yang menimpa orang lain, orang seperti itu bisa jadi lebih angkuh dari kakang Swandaru sendiri, apakah tidak punya cerita lainya ?" kata Glagah Putih tenang. "Kakang sebentar lagi kita akan bertemu dengan ayah dan ibu, apa yang akan kita berikan kakang ?" kata Rara Wulan mengalihkan pembicaraan. Glagah Putih tampak merenung, dipandanginya hamparan padi di depannya. "Rara, mana yang menurutmu baik ? Apakah kita akan memberikan kepada mereka sesuatu tetapi sesuatu itu bukan yang seharusnya kita punya ? atau kita tidak memberikan apapun kepada mereka karena memang kita tak punya sesuatu untuk di berikan ?" "Kakang, bukankah kalau kita bisa memberi kepada siapapun berarti ada suatu kebaikan dalam diri kita ?" Terdengar Glagah Putih tertawa perlahan, katanya," Engkau benar Rara, memberi adalah perbuatan yang mulia, tetapi lihatlah dengan seksama asal dan usul sesuatu yang kau berikan itu" Rara Wulan segera tersenyum mendengar keterangan suaminya itu. "Jadi apa yang mau kita berikan kepada ayah dan ibu nanti kakang ?" "Senyum kedamaian, kebahagian kita dan doa, Rara" jawab Glgah Putih mantab. Semilir angin yang mengalir membuat mereka sejenak terbuai oleh angan – angan tentang keserdehanaan hidup yang sejati. Saat ketenangan itu datang, tiba – tiba mereka di kejutkan oleh kedatangan tiga orang laki – laki dengan pakaian serba hitam. "Ini dia kang, sepasang anak muda yang aku ceritakan itu" kata seorang diantara mereka Glagah Putih dan Rara Wulan segera berdiri dan bersiap menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi. "Anak muda, dari mana asalmu ?" tanya seorang yang bermata juling itu kepada Glagah Putih. Setelah menguasai perasaannya segera Glagah Purih merapat mendekati istrinya dengan senyum mengambang telah menatap orang – orang itu. "Kami dari Menoreh, setelah dari Sangkal Putung kami akan melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, kisanak" jawab Glagah Putih. "Anak muda, kau dapat dari mana kuda yang besar dan tegar itu, apakah kau mencurinya ?" kata orang bermata juling itu. Rara Wulan segera tanggap bahwa orang – orang itu ternyata tertarik dan menginginkan kuda mereka, dia masih menunggu tanggapan suaminya. Masih tampak tetap tersenyum Glagah Putihpun menjawab," Ki sanak kudaku ini adalah kuda pinjaman dari ki Swandaru sebab kuda yang aku bawa dari Menoreh terlalu letih dan telah aku tinggalkan di Sangkal Putung," "Swandaru ? maksudmu Ki Swandaru anak Demang Sangkal Putung itu ?" "Benar ki sanak" jawab Glagah Putih, Rara Wulanpun mengerti bahwa suaminya ingin menghindari keributan dengan menyebut nama Swandaru maka mereka berharap persoalan akan cepat selesai dan segera melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, tetapi rupanya harapan suami istri itu telah hanyut terbawa angin. Tiba – tiba ketiga orang yang berpakaian serba hitam itu tertawa terbahak, setelah puas orang yang bermata julingpun berkata," Sangat kebetulan anak muda, ketahuilah malam hari nanti kami akan memasuki Sangkal Putung dan akan menemui Swandaru, kami akan membunuhnya dan membawa istrinya yang cantik itu" "Sekarang kita akan segera mendapat tunggangan yang baik, kakang" sela seorang yang berdiri disebelah orang yang bermata juling itu. "Betul adi kita mendapat tunggangan yang baik dan mendapat perempuan muda yang baik pula," Suara tertawa menggelegar segera terdengar. " Apakah kau tidak bisa menghormati seorang perempuan, ki sanak ? " terdengar suara Glagah Putih yang telah merubah menjadi berat. " Siapa yang harus di hormati anak muda ? Perempuan harus dinikmati bukan di hormati " suara tertawa yang berkepanjangan segera terdengar. " Kurang ajar ! " Rara Wulan setengah berteriak. Rara Wulan sudah merasa tidak tahan lagi mendengar perkataan ke tiga orang itu, segera saja tangannya terayun deras menyentuh mulut kotor orang yang berdiri paling dekat dengannya itu. Sentuhan yang tidak terlalu keras, namun bagi orang itu sentuhan itu bagai siraman minyak dan segera membakar amarahnya, terasa pedih menyakitkan dan tanpa sadar di pegangi mulutnya dan dua giginya telah tanggal. "Perempuan liar, tak tau diuntung" umpatnya liar Kali ini Glagah Putih yang telah bergerak, bagai burung alap - alap dia telah melompat tangannya segera menggapai mulut orang itu dan kaki kirinya telah membentur dada orang yang bermata juling itu secara bersamaan. Terdengar suara mengaduh dari kedua orang itu, kedua segera terlempar dan jatuh ketanah. Orang yang giginya tanggal dua itu tak segera berdiri sekali lagi dirabanya mulutnya, dua giginya telah terlepas lagi. "Iblis, thethekan, setan" umpatan kasar keluar meluncur deras dari mulutnya. "Aku tidak senang mendengar perkataannmu kisanak, sebaiknya kalian segera pergi dan lupakan kami" geram Glagah Putih. Ketiga orang itu segera bersiap, segera menyadari kesalahannya mereka terlalu menganggap remeh kedua pasangan anak muda itu. "Anak muda sekarang kami sudah tahu siapa kalian sebenarnya, kalian adalah penjahat yang berhati iblis meskipun wajah kalian tampak lembut , bersiaplah, kami akan segera meringkusmu bahkan tak segan kami akan membunuhmu bila kalian melawan" kata orang yang bermata juling itu menebar ancaman. Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan diri, mereka tidak mengira justru pada perjalanan pendek itu, mereka mendapatkan hambatan. Terlihat dua orang telah berhadapan dengan Glagah Putih dan seorang lagi yang giginya tanggal empat telah bersiap menundukkan Rara Wulan. "Aku akan segera menangkapmu cah ayu, mengikatmu dan membawamu kepada sesembahanku" katanya sembari mengulurkan tangannya kearah tubuh Rara Wulan. Tak mau tersentuh tangan kotor itu, Rara Wulan segera mendahului menyerang lawannya, dengan satu lompatan kedepan, tangannya bergerak lurus menggapai kening lawannya sementara kaki kanannya telah mengarah ke perut lawannya. Melihat gerakan cepat perempuan itu, segera orang berbaju hitam itu dengan gugup meloncat mundur beberapa langkah menghindar, melihat hal itu Rara Wulan langsung memburunya, satu tendangan telah terjulur menghantam perut lawannya, orang berbaju hitam itu tidak dapat menghindar lagi, segera ia menurunkan kedua tangannya melindungi perutnya, benturan kekuatan itu telah terjadi, segera saja orang itu terdorong beberapa langkah mundur, gemetar dan rasa ngilu telah menjalari kedua tangannya. "Kaki iblis, dari mana kau dapat kekuatan itu, he !" teriaknya. Rara Wulan hanya diam saja dan berdiri tegak siap menghadapi lawannya. Di lingkaran lainnya Glagah Putih telah bergerak seolah sedang menari dengan cepat dan lugas mengimbangi gerakan dua orang lawannya, saat tangan lawan menyambar kepalanya segera direndahkan tubuhnya dengan satu gerakan sederhana dengan telapak tangan yang merapat disentuhnya lambung lawannya yang terbuka dan dalam waktu yang hampir bersamaan kaki kanannya menyapu kaki lawannya yang lain. Belum menyadari keadaannya, tampak berkelebat tangan kirinya membentur pelipis lawannya yang sedang membungkuk memegangi lambungnya, segera orang itu tampak berputar dan dengan satu lompatan kecil siku kanannya membentur wajah yang sedang berputar itu, tak ampun lagi lawannya segera terpelanting dan jatuh terjerembab. Melihat kawannya mengalami kesulitan maka seorang lagi sambil menggeram telah melompat kedepan sambil menyerang tengkuk Glagah Putih. Menyadari kemungkinan itu Glagah Putih segera membalikan badan dan dibenturnya tangan lawannya itu, terdengar suara gemeretak tangan lawannya, tulangnya telah patah, satu jeritan kesakitan terdengar melengking, lawannya terduduk sambil memegangi tangannya dengan wajah yang meringis kesakitan. "Apakah kalian masih mau melawan ?" geram Glagah Putih. Dua lawannya sudah terduduk dan mengerang kesakitan. Glagah Putihpun segera memandang kearah Rara Wulan. "Aku menyelesaikannya lebih cepat darimu kakang" terdengar suara Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam – dalam dilihatnya lawan Rara Wulan terbaring diam. "Dia hanya pingsan" desis Rara Wulan. Kembali dipandanginya dua orang lawannya yang terduduk itu." Kalian menyerah atau bagaimana ? tanya Glagah Putih. "Kami menyerah anak muda, kami mohon ampun jangan bunuh kami anak muda" terdengar orang bermata juling yang tangannya patah itu. "Seharusnya aku membunuh saja kalian semuanya, he, kau telah mengatakan aku adalah penjahat yang berhati iblis" suara Glagah Putih telah mengejutkan mereka. "Ampun anak muda, aku mohon ampun, berilah kami kesempatan ." "Kesempatan apa ? Kalian adalah orang – orang yang berwatak kasar dan berhati liar yang tak pantas hidup di muka bumi ini" bentak Rara Wulan Kedua orang itu nampak menggigil ketakutan. Mendengar pertanyaan itu kedua orang itupun,menjawab" Kami akan berubah anak muda." "Didepan kami kalian bicara seperti itu, besok kalian akan merampok, memperkosa bahkan membunuh" kata Rara Wulang garang. "Tidak anak muda, kami betul – betul akan berubah, mohon ampun jangan membunuh kami," Terdengar suara orang yang bermata juling itu benar – benar memelas. "Baiklah saat ini, kalian kami ampuni, tetapi di saat lainnya apabila kami mendengar kalian melanggar paugeran hidup, di Sangkal Putung, Jati Anom atau daerah lainnya maka kami akan datang menghukum kalian, tanpa ragu kami akan membunuh kalian, mengerti !" "Baiklah ki sanak kami mengerti" "Siapa kalian sebenarnya ?" tanya Rara Wulan. Keduanya terdiam sejenak, keraguan serta kecemasan jelas membayang diwajah mereka berdua. "Tadi kalian mengatakan punya junjungan, apakah kalian akan ingkar ?" bentak Rara Wulan. "Tidak ...tidak anak muda ? kata orang juling itu terbata – bata. "Cepat katakan, atau kami akan membunuh kalian" "Baiklah anak muda, kami adalah murid – murid dari perguruan Jatirogo, namaku Gemblong anak muda," Kata Gemblong ketakutan. "Dimana letak padepokan perguruanmu ?" "Daerah Penggung anak muda" "Hem...." terdengar Glagah Putih berdesah "Baiklah Gemblong, uruslah temanmu yang pingsan itu dan ingat perkataanku, sekali ini aku telah mengampunimu, tidak untuk kedua kalinya" Kepada Rara Wulan, Glagah Putih berkata," Marilah Rara, segera kita tinggalkan tempat ini." Keduanyapun segera melangkah mendapatkan kuda - kuda mereka dan meneruskan perjalanan ke Jati Anom. Sebuah perjalanan yang tidak jauh lagi. Di tempat lain, wayah sore, Ki Patih Mandaraka tampak jalan mondar- mandir di pendapa Kepatihan sesekali dilihatnya pintu regol kepatihan, kegelisahan telah merambati hatinya, tak lama kemudian telah datang Tumenggung Wirabaya menghampiri Ki Patih, setelah menghaturkan salam, selanjutnya mereka berdua telah masuk ke sentong tengah. "Aku tahu kau tidak terlambat Ki Tumenggeung tetapi rasa – rasanya aku saja yang sangat gelisah menunggu kedatanganmu" Kata Ki Patih Mandaraka membuka pembicaraan. "Mohon ampun Ki Patih, sesuai yang hamba laporkan kemarin, hamba menunggu petunjuk Ki Patih," "Ki Tumenggung Wirabaya, apakah gerakan di bang wetan itu sangat mengkhawatirkan ?" terdengar pertanyaan Ki Patih Mandaraka. "Sampai saat ini tidak Ki Patih tetapi jika dibiarkan mereka akan terus bergerak ke barat dan pada akhirnya akan sampai juga di Mataram ini, apalagi jika mereka berhasil mempengaruhi beberapa kadipaten yang dilewatinya," jawab Ki Temenggung Wirabaya. "Menurutmu, siapakah yang menggerakan semua itu ?" "Menurut keterangan telik sandi, mereka berasal dari Kadipaten Surabaya, gerakan itu dipimpin oleh seorang Tumenggung yang telah rela melepas baju keprajuritannya," Tumenggung Wira baya berhenti sejenak, menunggu tanggapan Ki Patih. "Apakah tujuan mereka dan sampai dimana pergerakan mereka sekarang Ki Tumenggung ?" "Semalam laporan itu mengatakan mereka telah sampai di kademangan Nganjuk perbatasan dengan Kadipaten Madiun Ki Patih," Ki Patih tampak merenung pendengarkan laporan itu, Kadipaten Madiun adalah daerah yang pernah memberontak terhadap Mataram tentu benih – benih kebencian dan luka itu masih ada pada sebagian rakyatnya yang tidak bisa melihat kenyataan yang dihadapinya, sedangkan Panaraga keadaannya kian tidak menentu, setelah dikalahkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu dalam perang tanding, Pangeran Jayaraga itu tidak bernafsu lagi untuk menentang Mataram tetapi para bawahannya seolah tidak mempercayainya bahwa seorang Adipati telah di kalahkan hanya oleh seorang Rangga Mataram, tentu mereka itu dapat dimanfaatkan oleh Tumenggung dari Surabaya itu untuk melawan Mataram. "Hem .." desahnya. "Apakah mereka menggunakan cara selayaknya prajurit Ki Tumenggung" tanya Ki Patih. "Tidak Ki Patih, mereka menanggalkan semua ciri – ciri keprajuritannya" "Itulah yang lebih membuatku prihatin Ki Tumenggung, mereka akan mengumpulkan beberapa perguruan yang tersebar di seluruh bang wetan untuk memusuhi Mataram, mereka tentu tidak mempunyai jiwa keprajuritan, mereka akan bergerak liar tanpa tali ikatan dan itu tentu sangat menyulitkan kita" "Benar Ki Patih, gerakan itu berhenti pada setiap derah dan mereka selalu menunjukan kemampuannya bahkan selalu menantang semua perguruan dimana saja, siapa yang kalah akan menjadi pendukung gerakan itu Ki Patih, Adipati Mojokertopun telah dikalahkannya," "Perguruan mana yang menjadi tulang punggungnya, Ki Tumenggung Wirabaya ?" Nampak Ki Tumenggung diam sejenak mendengar pertanyaan itu, segera diingatnya nama sebuah perguruan yang telah disebutkan oleh telik sandi Mataram itu. "Mereka menyebutnya Perguruan Kalisat yang di pimpin oleh seorang empu yang bernama Empu Ijen, Ki Patih" Ki Patih Mandaraka tampak terdiam, dicobanya untuk mengenal dan menyusuri pengetahuannya tentang daerah timur tetapi belum pernah didengarnya nama perguruan yang seperti diceritakan oleh ki Tumenggung itu Wirabaya itu. "Baiklah Ki Tumenggung, pembicaraan kita hari ini sudah cukup, aku minta tolong padamu, mampirlah ke Sanggar Bedoyo, katakanlah ke pada Pangeran Pringgoloyo bahwa besok wayah temawon aku menunggunya di Kepatihan." "Baiklah Ki Patih, perkenankan hamba mohon diri" selesai mengaturkan sembah maka Tumenggung Wirabayapun bergeser dan melangkah meninggalkan kepatihan. Sepeninggal Tumenggung Wirabaya, Ki Patih Mandaraka tampak termenung, pikirannya telah melayang kesegala sudut kota raja," Apakah bakal terjadi ontran – ontran di tanah Mataram ini ?" Ki Patihpun segera teringat kepada sahabatnya, Ki Waskita. Dingatnya saat perang tanding antara Ki Rangga dan Pangeran Jayaraga saat itu Ki Waskita telah mengeluh" Apa yang akan terjadi di tanah ini ?" "Hem.. aku akan datang menemui Ki Waskita" gumamnya lirih. Dengan wajah sedih Ki Patihpun segera berdiri dan berjalan menuju gandok apitan, seorang abdi dalem segera menyembah dan mempersilahkannya. Segera Ki Patih Mandaraka masuk dan duduk memandang kesebuah tirai berwarna kuning keemasan. Hatinya bergetar sesaat, segera ia berdiri dan dibukanya tirai itu, nampak sebuah peti besar yang terbuat dari kayu jati berukiran sangat halus tergolek disana, dengan sangat berhati hati dibukanya peti itu perlahan dan diambilnya sesuatu di dalam peti itu. "Apakah sudah saatnya aku mempergunakan pusaka ini kembali" gumam Ki Juru perlahan. Kekhawatirannya terhadap kelangsungan Trah Mataram telah membuatnya menyentuh benda pusaka itu lagi. Keris pusaka Kanjeng kyai Kalam Bumi, sebuah keris dengan luk tiga belas pemberian Kedaton Giri telah kembali di diselipkan pada pinggangnya, Sebuah pusaka yang diterimanya dari Sunan Giri dan pusaka itu telah menemani hampir sepanjang perjalanan hidupnya, meskipun selapis di bawah pusaka Kala Munyeng Sunan Giri tetapi pusaka itu terasa mempunyai pamor dan perbawa yang luar biasa bagi pemiliknya, segeralah pusaka itu menyatu dalam jiwa dan raganya. Pusaka itulah yang menemaninya, bersama Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi menghadapi Raden Aryo Penangsang dan pasukannya dari Jipang kala itu. Seorang Pangeran dengan Kyai Brongot Setan Kober ditangannya, pusaka ampuh pemberian Sunan Kudus. "Semoga aku tidak mempergunakannya lagi" doanya dalam hati. Setelah mengatakan sesuatu kepada abdi dalem yang menjaga ruangan itu, segera Ki Patih bergegas menuju gandok wetan dan menemui seseorang. "Ki Sumokraton, aku memerlukan bantuanmu, malam ini pergilah ke Tanah Perdikan Menoreh dengan dua pengawal kepercayaanmu, menghadaplah kepada Ki Gede Menoreh dan sampaikan salamku, setelah itu sampaikan bahwa besok sore aku akan berkunjung ke Menoreh dan sampaikan juga aku memerlukan Ki Waskita hadir ," berkata ki Patih kepada orang kepercayaannya itu. Tampak Ki Sumokraton mendengarkan secara seksama semua permintaan Ki Patih Mandaraka, segera ia berucap," Ki Patih, apakah ada hal lain yang akan hamba sampaikan kepada Ki Gede Menoreh ?" "Tidak Ki cukup itu saja, aku akan singgah ke barak pasukan khusus yang ada di Menoreh sebelum aku ke padukuhan induk ." jawab Ki Patih. "Hamba mohon diri Ki Patih" Segera Ki Sumokraton bergeser dan meninggalkan gandok wetan. Ki Juru Mertani segera melangkahkan kakinya menuju biliknya, setelah menyimpan rapi keris pusakanya maka kakinya segera melangkah ke luar dari Kepatihan menuju masjid di lingkungan istana untuk menunaikan kewajibannya. Malampun telah tiba dan bulanpun telah menjalankan tugasnya menerangi bumi Mataram Sementara itu di padepokan orang bercambuk Jati Anom, suasana kegembiraan serasa membekap jantung semua penghuninya, semua cantrik dengan wajah berseri selalu berada di sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan, bahkan teman semasa kecilpun telah berdatangan. Perasaan Ki Widura serasa mengambang di awan, kehadiran putra satu – satunya itu beserta menantunya sangat membesarkan hatinya. Rara Wulan merasakan ketenangan dan kenyamanan hidup yang sepertinya belum pernah ia rasakan. Siang hari pasangan muda itu terlihat menerima tamu – tamu sekitar padepokan dan malam harinya bersama Ki Widura telah masuk sanggar untuk menempa para cantrik padepokan itu. Saat tengah malam, didalam sanggar tersisa Ki Widura dan sepasang suami istri, mereka telah membicarakan sesuatu. "Glagah Putih dan Rara Wulan, ketahuilah bahwa aku sudah mengetahui terlebih dahulu tentang kembalinya orang tua yang sangat kita hormati itu" Ki Widura mulai berbicara setelah mendengar cerita yang panjang dari anaknya. Keheranan telah hinggap di benak pasangan muda itu, mereka terus memperhatikan perkataan ayahnya itu. Ki Widura berhenti sejenak, segera menarik nafas dalam – dalam, kemudian katanya," Sebelum pergi ke Menoreh, Kyai Gringsing ternyata telah datang ke padepokan ini, bahkan sempat pula orang tua yang baik hati itu memberi petunjuk kepadaku tentang olah kanuragan," "Apa maksudnya, ayah ?" tanya Glagah Putih. "Kedatangan seseorang sangat aneh pada saat itu, Kyai Gringsing hadir sama persis seperti saat datang ke Sangkal Putung untuk menemuiku kala itu," desis Ki Widura, seraya mengingat kejadian demi kejadian saat pasukan Tohpati menyerang Sangkal Putung. "Bagaimana kejadiannya, ayah ?" Rasa ingin tahu telah mendesaknya bertanya kepada ayahnya. "Saat menjelang wayah sepi bocah, di pancingnya ayahmu yang sudah tua ini untuk keluar dari padepokan pergi kesuatu tempat yang tidak banyak dikunjungi orang, hutan kecil di selatan Jati Anom ini" Ki Widura berhenti sejenak, dikenangnya peristiwa yang terjadi beberapa saat yang lalu itu dan Glagah Putih serta Rara Wulan terasa seakan menyaksikan peristiwa itu. Ki Widura dengan kaki renggang telah mengadap orang bertopeng dan berjubah lurik itu, perasaan aneh telah berkecamuk didadanya. "Kenapa kau selalu mengikuti ku Ki Widura, bukankah aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan padepokanmu ?" tanya orang bertopeng itu. KI Widura menarik nafas dalam – dalam, lalu katanya," Kenapa kisanak memberi isyarat kepadaku, isyarat yang tidak wajar dan hanya di pahami oleh orang orang padepokan kami ?" Mendengan perkataan Ki Widura, meledaklah tawa orang bertopeng itu, "Ki Widura, umurmu sudah tua tetapi pengetahuanmu masih saja terlalu dangkal, apakah yang kau ketahui tentang isyarat itu, he ?" Ki Widura tampak mengatupkan bibirnya rapat – rapat menahan gejolak didadanya, kecurigaannya semakin besar, takkala mendengar orang bertopeng itu berkata," Isyarat itu sebenarnya aku tujukan kepada Untara, bukan kepadamu, aku menduga bahwa Untara ada di padepokan saat itu, dengan menerima isyaratku maka Untara akan mengerti musuh bebuyutannya telah datang dan akan menagih janji kepadanya" Suara tertawa yang sangat aneh telah terdengar lagi, menebar menggelitik bunga – bunga liar yang tumbuh dihutan kecil itu. "Sudahlah kisanak, aku semakin tidak mengerti apa yang kau ucapkan, marilah kita duduk dan istirahat dipadepokan, sementara cantrikku akan memanggil angger Untara seperti yang kau kehendaki" kata Ki Widura dengan nada berat. "Tetapi jika kau tidak mau maka aku akan memaksamu." Terdengar orang bertopeng itu menggeram dan dengus nafasnya terdengar memburu," Baiklah Ki Widura aku terpaksa akan melawanmu jika kau masih ingin menangkapku, yakinlah bahwa hanya Untara yang bisa melawanku, ilmumu masih terlalu dangkal untuk menantangku," "Jangan meremehkan aku kisanak, apakah kau merasa mempunyai ilmu sundul langit sehingga kau berani meremehkan aku ?" kata Ki suara sedikit bergetar. "Ilmumu masih di bawah Untara, apalagi jika dibandingkan dengan adik Untara yang ada di Menoreh itu" katanya mengejek. Mendengar dan merasa selalu disudutkan dan diremehkan maka semakin lama Ki Widura semakin tak bisa menahan dirinya lagi dan orang bertopeng itu telah menyebut beberapa anggota keluarganya" Hem..Apakah memang orang ini mengusung dendam pada keluarga Ki Sadewa, orang ini tentu mempunyai ilmu tinggi tetapi siapakah orang ini ?" Ejekan dan segala perkataan yang merendahkan dirinya terus meluncur deras dari balik topeng itu, yang pada akhirnya Ki Widura telah kehilangan kesabarannya. "Menyerahlah kisanak ! Hem .. sekali lagi aku menawarkan padamu, marilah singgah dipadepokanku , jika kau menolak maka aku akan segera menangkapmu, melawan atau tidak melawan" Sekali lagi orang bertopeng itu tertawa sampai tubuhnya terguncang, katanya," aku akan melawan saja, tetapi jangan salahkan aku jika nanti tubuhmu babak belur Widura" Tiba – tiba dan tanpa aba – aba orang bertopeng itu secepat tatit telah meloncat menyerang Ki Widura, sebuah tendangan mengarah ke ulu hati, menanggapi serangan itu Ki Widura dengan tangkasnya telah bergerak kesamping dan memukul kaki lawannya itu., sebuah benturan kecil terjadi dan tak menggoyahkan keduanya. Segera orang bertopeng merendah melancarkan serangan dengan jurus sapuan, tubuhnya berputar seperti gangsingan mengempur kuda – kuda ki Widura, tak membiarkan dirinya terjungkal maka segera Ki Widura melenting dengan cepat dan tangannya terjulur menggapai kening lawannya. Orang bertopeng itu terdengar menggeram melihat kelincahan lawannya, tiba – tiba dengan satu gerakan yang rumit orang bertopeng itu menghindari sentuhan tangan Ki Widura dan sekaligus membalasnya dengan telapak tangan terbuka., sebuah pukulan telah menghantam pundak bagian belakang, terasa dorongan sangat besar dan menyakitkan menerpa tubuh Ki Widura. "Nah .. aku sudah mengenaimu Widura, sekarang apa katamu ? Ilmumu belum sekuku irengnya Agung Sedayu, keponakanmu itu" suara tertawa menggema orang bertopeng itu terdengar sekali lagi. Ki Widura tidak menjawab, matanya memandang tajam kearah orang bertopeng itu, segera ditingkatkan ilmunya, tenaga cadangan telah dihimpun dan dikerahkannya meskipun belum sampai puncaknya. Keduanya kembali terlibat dalam pertempuran yang cukup sengit, bayangan tubuh orang bertopeng itupun semakin jarang menyentuh tanah sedangkan Ki Widurapun terus memburunya seakan tak mau melepaskan bayangan itu. Sebuah pukulan tangan kanan yang didorong oleh tenaga cadangan yang besar telah mendarat didada orang bertopeng itu, tetapi alangkah terkejutnya Ki Widura melihat akibat pukulannya, orang bertopeng itu seolah tak merasakan apa-apa, bahkan masih terdengar suara tertawanya yang aneh. "Hem .. aku tak menyangka Widura kau dapat bergerak secepat itu, tetapi sayangnya pukulanmu seperti pukulan anak kecil yang baru belajar olah kanuragan" Darah Ki Widura seakan menggelegak mendengar kata – kata itu, diperhatikan lawannya yang tengah mondar – mandir itu. "Baiklah ki sanak, aku akan segera mengerahkan kemampuanku yang sebenarnya dan aku tidak akan ragu – ragu lagi, jangan salahkan aku jika kau merasakan akibatnya." Tanpa menunggu jawaban orang bertopeng itu, segera Ki Widura meloncat menerjang serta melibat lawannnya dalam sebuah pertempuran yang rumit, gerakannya semakin ringan dan pukulannya pun semakin mantap dan berat bahkan terasa udara dingin telah mengiringi gerakannnya, orang bertopeng itu terkejut saat melihat perubahan tata gerak lawannya, tetapi dia masih belum kehilangan akalnya, dengan lincahnya ia berkelebat cepat, seakan tubuhnya tidak berbobot. "Widura mana ajianmu, kalau hanya mengandalkan gerakan dengan ilmu meringakan tubuh saja tentu kau akan segera menemui kesulitan" teriak orang bertopeng itu. "Aku tidak ingin membunuhmu kisanak, aku hanya ingin menangkapmu" jawab Ki Widura sampil menyerang lawannya. Pertempuran telah meningkat semakin cepat, sangatlah mengherankan, semakin meningkatkan ilmunya Ki Widura merasa semakin ada jarak antara ilmunya dan ilmu orang bertopeng itu, sampai satu ketika sebuah pukulan telah mengguncang dada Ki Widura. Dan pukulan itu telah melebihi dari daya tahannya, Ki Widura telah terdorong tiga langkah surut. "Kau ceroboh Widura, pertahananmu semakin terbuka bila kau terlalu bernafsu untuk menyerang, kedua - duanya harus seimbang" terdengar celoteh orang bertopeng itu. "Apakah kau mempunyai ilmu lain selain kecepatan gerak, Ki Widura ?" Warna merah telah merambat ke wajah tua Ki Widura, selama ini belum pernah ada orang yang bertempur melawannya setangguh orang bertopeng itu, dengan terpaksa diungkapkannya satu persatu ilmunya, pertama yang diungkapnnya adalah ilmu pertahanannya, sebuah ilmu kebal yang dipelajari dari kitab kakaknya Sadewa, kitab perguruan Jati Laksana – Lembu Sekilan. Perubahan tata gerakpun segera terjadi, Ki Widura dengan mantap telah menyerang lawannya, benturan dengan lawannya seolah tak dirasakannya, bagai orang kesurupan paman Agung Sedayu itu telah meyerang lawannya, bahkan ditangannya telah tersalur ajian Lebur Seketi meskipun belum pada puncaknya, sekilas terlihat orang bertopeng itu terdesak surut beberapa langkah," He ! Widura, apakah kau benar – benar ingin membunuhku" teriak orang bertopeng itu sambil menghindar. Ki Widura tidak segera menjawab, serangannya menjadi semakin rumit dan cepat, kemanapun lawannya bergerak selalu diikutinya, keyakinannya terhadap ilmu lembu sekilan yang tidak akan tertembus oleh serangan lawannya benar –benar membuat Ki Widura semakin leluasa bergerak, ayah Glagah Putihpun merasa semakin yakin akan segera dapat mengalahkan lawannya, dalam kekalutan menghadapi serangan Ki Widura , tiba – tiba orang bertopeng itu melontarkan dirinya kebelakang, seolah mencari kesempatan untuk menarik nafas, dia berdiri membelakangi pohon mahoni. "Apakah kau menyerah kisanak ?" tanya ki Widura yang telah menghentikan serangannya itu. Terdengar orang bertopeng itu tertawa perlahan dan disela –sela tertawanya, dia berujar," Ada apa dengan kau Widura ? Apakah kau sudah mengalahkanku ? Ketahuilah, kalaupun aku meloncat mudur bukan berarti aku menyerah, aku justru memberimu kesempatan untuk bernafas sebab sangat tidak pantas apabila aku bertempur dengan orang yang nafasnya hampir terputus," Tampak kerut didahi Ki Widura semakin dalam, tak disangkanya hari ini dia bertempur melawan orang yang sangat aneh. "Ki Widura, apakah kau menyadari kebenaran dari ucapanku itu ?" Darah Ki Widura benar – benar mendidih, mulutnya menjadi kelu, sekejap kemudian bagaikan terbang Ki Widura telah meloncat kearah lawannya yang berdiri tegak itu, kedua tangannya mengembang dan terasa telah bergetar hebat dan sesaat lagi pasti membentur dada lawannya. Orang bertopeng itu menyadari dengan segala ucapannya, dia terus membangkitkan kemarahan Ki Widura, usahanyapun telah berhasil dan kini ia tengah menanti pukulan dari orang padepokan bercambuk itu. Kurang sejengkal dari dadanya, tiba – tiba orang bertopeng itu telah bergerak, sebuah gerakan yang tidak kasat mata, ia telah berpindah tempat. Datanglah pukulan yang dahyat itu, menerpa pohon mahoni yang berdiri tegak perkasa, akibatnya pohon mahoni bagaikan terguncang hebat, daun – daun yang telah menguning, dahan yang telah lapukpun segera berguguran dan jatuh ketanah, terlihat jelas bekas sentuhan tangan Ki Widura itu, kulit pohon mahoni yang besar itu telah terkelupas dan bekas kehitaman telapak tangan telah menempel di pokok pohon itu. "Luar biasa, Widura" desis orang bertopeng itu. "Bagaimana akibatnya bila menyentuh dadaku ?" dan sekali lagi terdengar suara tertawa kecil keluar dari balik topeng itu. Sementara itu Ki Widura bagaikan orang kehilangan akal, merasa serangannya gagal maka diapun segera menyiapkan serangan berikutnya. Sebuah gerakan cepat segera memburu dan melibat lawannya, gerakan yang dilandasi ilmu perguruan Windujati benar – benar telah diterapkannya. Desir angin yang kuat serta udara yang dingin telah mengiringi serangan Ki Widura. Orang bertopeng itupun segera meningkatkan ilmunya, dia tidak lagi banyak bicara, dia tidak mau tersentuh tangan lawannya. Tanah di hutan kecil itu segera teraduk – aduk dan rumput ilalang segera berserak tercabut dari akarnya, dua bayangan nampak berputar – putar dan saling menyerang, tubuh mereka seolah telang mengapung diudara, sangat sulit bagi mata telanjang untuk mengikuti pertempuran itu. Satu Kejadian berikutnya benar – benar mencengkam benak dan dada Ki Widura, Ilmu Lembu Sekilan yang telah diterapkan sampai puncaknya itu telah dapat di tembus olah lawannya. Sekali lagi sebuah sentuhan dengan ibu jari telah meraba keningnya dan memecahkan ilmu kebalnya, terasa seolah bumi bagai perputar dan awanpun runtuh menimpa tubuhnya, paman Agung Sedayu itu telah terpelating dan tubuhnya bagai terlempar dan telah jatuh berguling – guling. "Lembu sekilan yang jelek Ki Widura" ejek orang bertopeng itu. "Bagaimana akibatnya jika aku menggunakan sepenuh kekuatan, tentu tubuhmu akan hancur Ki Widura, mengapa kau tidak mempergunakan ilmu pertahanan yang telah diwariskan oleh gurumu ? Mengapa tidak kau pergunakan aji Bayu Lampah atau memang kau belum menguasainya ?" Ki Widura benar - benar tercengang, seolah kehabisan akal, tanpa sadar tangannya telah meraba sesuatu yang membelit dilambungnya. Selesai bicara, tanpa menunggu Ki Widura memperbaiki keadaannya, secepat tatit diudara, orang bertopeng itu bagaikan terbang dengan tangan mengembang dan jari – jarinya telah merapat, laksana burung rajawali menyambar mangsanya dan turun dengan derasnya, tangan kanannya mengepal telah menghantam pokok pohon mahoni disamping Ki Widura berdiri, bukan main akibatnya, terlihat pohon itu tidak berguncang sedikitpun, pohon mahoni itu tidak terbakar dan masih tetap tegak berdiri dengan kokohnya. Mata Ki Widura bagaikan terbelalak menyaksikan akibat pukulan itu, ternyata pada batang mahoni yang besar itu telah berlubang sebesar kepala kerbau, dari sisi satu telah menembus ke sisi yang lainnya. "Lihatlah Widura, bagaimana jika pukulan itu menerpa tubuhmu, meskipun lembu sekilanmu rangkap tiga aku masih yakin dapat menembusnya ?" terdengar orang bertopeng itu berkata perlahan. Kepalanya menjadi semakin pening dan nalarnya semakin kabur, menyaksikan kemampuan lawannya. "Apakah angger Untara dan angger Agung Sedayu sanggup menghadapi orang ini ?" pikiran itu terlintas di benaknya," Bagaimana mungkin orang bertopeng itu mengetahui seluk beluk ilmunya ?" Pertanyaan telah membelit otaknya yang tidak segera ditemukan jawabnya. "Ki Widura, apakah kau membawa senjata ? Pinjamkan cambukmu padaku, jangan takut aku tak berniat menyakitimu apalagi membunuhmu" Keraguan yang sangat telah mencengkam dadanya, ilmu orang bertopeng itu jauh diatas awan baginya, bagaimanapun tentu sangat mudah bagi orang tiu untuk membunuhnya, senjata tak akan diperlukannya untuk menghabisi seorang Widura. Perasaan aneh telah berkecamuk didadanya, sementara itu terdengar orang bertopeng itu berkata," Baiklah Ki Widura aku tak akan meminjam senjatamu, aku akan mencari penggantinya saja." "Widura, lihatlah batu hitam itu !" Selesai bicara, dengan sedikit ancang –ancang orang bertopeng itu telah meloncat tinggi, dengan cepat tangannya menghentak sulur pepohonan hingga terputus, dan sekali menjejak tanah orang bertopeng itu telah melenting, sulur pepohonan itu telah berputar diatas kepalanya, suara desing dan terpaan angin dingin telah menyakiti dada Ki Widura, sesaat kemudian sulur pepohonan itu telah disentakannya, sekejap sinar hijau kebiruan telah menerpa batu hitam sebesar sapi lanang itu, tidak ada ledakan dan tidak ada debu yang berhamburan, ternyata batu hitam itu telah berubah warna menjadi keputihan. Bagaikan orang yang telah tertidur panjang dengan mimpi yang sangat menyeramkan, Ki Widura telah terduduk membeku. "Ki Widura datanglah ke batu hitam itu, lihatlah apa yang terjadi, mungkin suatu saat akan menarik perhatianmu." kata orang bertopeng itu perlahan. Seperti kena ilmu sihir sekaligus ilmu gendam maka Ki Widurapun segera berjalan menuju batu hitam yang telah berubah warna itu. beberapa langkah ayah Glagah Putih itu berhenti dan diamatinya batu putih itu, dengan menahan nafas, perlahan – lahan dan gemetar digerakan tanganya menyentuh batu itu," Subhanalloh" batu itu telah berubah menjadi es dan segera mencair membasahi tanah. Sebuah kedahsyatan ilmu yang belum pernah di bayangkannya, beberapa saat dia bagai membeku menatap batu es itu dan dirabanya kembali, seolah tak percaya. Sebongkah kekaguman telah merayapi hatinya, tidak beberapa lama Ki Widurapun berdiri dan membalikkan badannya, alangkah terkejutnya, ternyata orang bertopeng itu telah menghilang. Ki Widura menarik nafas dalam – dalam, kedua belah tangannyapun telah bergerak menutup mukanya dan kemudian bergeser kebawah, sebuah aura kesegaran nampak diwajahnya yang telah menua itu. "Seperti itulah kejadiannya anakku," terdengar ki Widura berdesis. "Tetapi bagaimana ayah bisa memastikan bahwa orang bertopeng itu adalah Kyai Gringsing ?" tanya Rara Wulan. "Kyai Grinsing telah masuk di sanggar ini anakku, dan telah duduk ditempatmu itu Glagah Putih, orang tua itu terlihat sedang menunggu kedatanganku" jelas Ki Widura. "Guru sepuh itu telah bercerita banyak kepadaku sebelum menemui kalian di Menoreh" sambungnya. "Ayah memanggilanya sebagai guru sepuh, siapakah guru mudanya ?" Rara Wulanpun segera bertanya. Glagah Putih tak dapat menahan tawanya mendengar pertanyaan yang menggelikan itu. "Rara, siapa guru muda itu menurutmu" tanya Galagah Putih. "Kakang Agung Sedayu" jawab Rara Wulan pasti. "Nah ..kalau sudah tahu, kenapa kau tanyakan ?" kata suaminya sembari tersenyum, "Kakang benar, kenapa aku tanyakan ya ?" katanya perlahan sambil menahan senyumnya. Melihat keduanya, hati Ki Widura terasa tentram seperti tersiram air padasan. "Glagah Putih dan Rara Wulan sebelum pergipun, guru sepuh telah memberiku satu perkataan yang harus selalu kupikirkan," Ki Widura, kehebatan seseorang itu sama sekali bukan terlihat dari berapa banyak harta benda yang ia kumpulkan, bukan pula dari berapa tinggi kesaktian yang ia tunjukkan, sebenarnyalah kehebatan seseorang itu akan terlihat saat dia bisa menerima dan melihat indahnya suatu perbedaan, harta, derajat dan pangkat hanyalah sebuah titipan yang sangat tidak patut untuk dipamerkan, tiada kuasa manusia yang akan melebihi KuasaNYA," Glagah Putih dan Rara Wulan tampak tertunduk, mereka meresapi apa yang telah disampaikan oleh Kyai Grinsing dengan lantaran ayahnya, keduanya mencoba mengurai makna di balik perkataan itu. "Anakku berdua, tidak mudah mencerna nasehat mulia itu, masih banyak diantara kita yang telah berbuat sebaliknya" Ki Widura terdiam sejenak, lanjutnya," Diperlukan tekad yang besar dalam diri kita untuk memulai menekan hawa nafsu yang sering meledak - ledak ini, kesadaran akan keberadaan kita sebagai manusia, itu dulu yang harus dipahami" "Kesadaran kita sebagai manusia" kalimat itu terngiang di benak kedua anak muda itu, "Apa maknanya ayah ?" tanya Glagah Putih. Ki Widura tidak segera menjawab, diingatnya kelanjutan perkataan guru sepuh sebelum meninggalkan padepokan itu, seolah telah terngiang kembali semua perkataan itu. " Manusia itu adalahciptaanNya yang paling sempurna Ki Widura, diberiNya akal dan pikiran, diberiNya semua kelengkapan untuk hidupnya dan diberikanNya pula semua kebutuhan hidupnya, tetapi sangat sedikit diantara kita yang mengerti, bagaimana seharusnya mempergunakan semua pemberianNya itu." "Ki Widura, bukankan kita yang menerima ini juga harus memberi dan sebaliknya, bukankah kita yang dilayani ini juga harus melayani, bukankah kita ini mempunyai rasa kebaikan, rasa kasih sayang dan rasa menghormati serta masih banyak rasa manusiawi lainya di muka bumi ini, tetapi ku mohon padamu Ki Widura, segeralah mengerti, bahwa ada satu kata yang bisa mewakili penampakan wadag dan rohani kita yaitu kata syukur, selalu bersyukurlah pada Sang Pencipta, percayalah tiada kejelekan atau keburukan yang akan diberikan kepada kita olehNya." Ketiga semakin hanyut oleh perkataan orang tua yang sangat mereka hormati itu. "Sudahlah anakku, beristirahatlah, mumpung masih sempat, sebentar lagi sudah menjelang pagi, bukaknkah nanti kedua saudaramu dari Sangkal putung akan kemari dan kalian akan melanjutkan perjalanan ke Menoreh" kata Ki Widura menyadarkan mereka. "Kakangmu Untara juga sudah memberi bekal kepada kalian yang sudah aku simpan, rupanya kakangmu Untara terlupa saat kau datang kerumahnya saat itu, dan sebelum kau pergi sebaiknya kau melihat ke makam ibumu, doakanlah ibumu supaya mendapat tempat yang baik di sisiNya." Mendung di Lereng Merapi Bumbung 7 merupakan fenomena alam yang terjadi di daerah lereng Merapi, tepatnya di Bumbung 7. Fenomena ini terjadi ketika awan mendung menutupi puncak Merapi dan menyebar ke bawah hingga menutupi bagian lereng Merapi. Penyebab Mendung di Lereng Merapi Bumbung 7 Penyebab utama terjadinya mendung di lereng Merapi Bumbung 7 adalah adanya perbedaan suhu di daerah tersebut. Suhu yang lebih dingin di puncak Merapi menyebabkan uap air dari awan mendung mengalami kondensasi dan membentuk butiran-butiran air. Butiran-butiran air ini kemudian turun ke bawah dan menutupi daerah lereng Merapi. Selain itu, faktor lain seperti kelembaban udara dan tekanan udara juga mempengaruhi terjadinya fenomena ini. Keindahan Mendung di Lereng Merapi Bumbung 7 Meskipun terjadi karena faktor alam, mendung di lereng Merapi Bumbung 7 memberikan keindahan tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya. Awan mendung yang menutupi daerah tersebut memberikan kesan mistis dan dramatis, terutama saat terlihat dari kejauhan. Selain itu, fenomena ini juga sering dijadikan sebagai objek fotografi oleh para pecinta alam dan fotografi. Tips Berkunjung ke Lereng Merapi Bumbung 7 saat Mendung Jika Anda ingin berkunjung ke daerah lereng Merapi Bumbung 7 saat terjadi mendung, ada beberapa tips yang perlu diperhatikan. Pertama, pastikan Anda membawa perlengkapan yang memadai seperti jas hujan atau payung karena cuaca di daerah tersebut sangat tidak menentu. Kedua, hindari melakukan aktivitas yang berbahaya seperti mendaki puncak Merapi karena kondisi lereng yang licin dan rawan longsor. Terakhir, jangan lupa untuk mengabadikan momen indah tersebut dengan kamera atau smartphone Anda. Kesimpulan Mendung di lereng Merapi Bumbung 7 merupakan fenomena alam yang terjadi akibat perbedaan suhu dan faktor lain seperti kelembaban dan tekanan udara. Meskipun terjadi secara alami, fenomena ini memberikan keindahan tersendiri dan sering dijadikan sebagai objek fotografi. Jika ingin berkunjung ke daerah tersebut saat terjadi mendung, pastikan Anda membawa perlengkapan yang memadai dan menghindari aktivitas berbahaya seperti mendaki puncak Merapi. 2020-05-26 MAGELANG - Sedikitnya 200 orang warga lereng Gunung Merapi di Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah mengungsi ke Desa Ngrajek, Mungkid. Hal ini seiring peningkatan aktivitas Merapi menjadi berstatus Siaga. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kabupaten Magelang, Edy Susanto di Magelang, Ahad 8/11, mengatakan data pengungsi dari Keningar masih dinamis. "Data pertama menyebutkan ada 117 pengungsi, tetapi sekarang mencapai di atas 200 orang dan kita akan 'update' terus melalui posko," katanya. Tempat pengungsian di Desa Ngrajek terbagi dalam dua titik, yakni di SDN Ngrajek I dan rumah Kepala Desa Ngrajek. Ia mengatakan warga Desa Kiningar sebenarnya tidak termasuk rekomendasi untuk mengungsi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi BPPTKG. "Meskipun tidak termasuk direkomendasi, ternyata masyarakat memang ada trauma dengan erupsi Merapi 2010," katanya. Rekomendasi dari BPPTKG untuk Kabupaten Magelang, warga yang harus mengungsi di tiga desa di Kecamatan Dukun, yakni Desa Ngargomulyo Dusun Batur Ngisor, Gemer, Ngandong, Karanganyar, Desa Krinjing Dusun Trayem, Pugeran, Trono, Desa Paten Babadan 1 dan Babadan 2. Ia menambahkan di tempat pengungsian, mereka tetap harus mentaati protokol kesehatan, antara lain menjalani tes cepat rapid test. "Saya lihat ada beberapa yang sakit dan langsung dirujuk ke RS Merah Putih Kabupaten Magelang. Kita tidak ingin mengambil risiko dan memang harus begitu pelayanannya dan pemerintah siap melayani sesuai kondisi masyarakat. Bagi yang sehat tetap di pengungsian meskipun sudah tua, sedangkan yang sakit segera dirujuk ke rumah sakit." kata Edy Susanto. Kepala Desa Keningar Rohmat Sayidin mengatakan proses evakuasi warga pada Ahad 8/11 ini sudah koordinasi dengan BPBD Kabupaten Magelang dan desa penyangga atau desa bersaudara, yakni Desa Ngrajek, Kecamatan Mungkid. "Desa Keningar tidak termasuk rekomendasi dari BPPTKG, tetapi kami menyadari bahwa Desa Keningar ada di daerah rawan bencana Merapi," katanya. Ia menyebutkan ada dua dusun yang mengungsi, yakni Dusun Banaran dan Dusun Gondangrejo. Mereka yang mengungsi terutama kelompok rentan, antara lain anak-anak, balita, ibu hamil, orang tua, dan orang sakit. "Evakuasi ini atas kesadaran masyarakat sendiri, karena memang desa sebelah, yakni Desa Ngargomulyo sudah mengungsi. Selain itu beberapa warga memang khawatir jika Merapi erupsi. Erupsi Merapi 2010 menjadi momok tersendiri bagi warga," demikian Rohmat Sayidin. sumber AntaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini Bunyi ledakan mengguntur itu ternyata membuat perang tanding terselubung itu berhenti sejenak, hati kedua putra Mataram itu bergejolak hebat, tanpa sadar keduanya memandang sekeliling mereka. Seolah semua binatang tak bersuara, dan dedaunanpun enggan bergerak meski tertiup angiin. "Paman, apakah perlu latih tanding ini diteruskan ? " terdengar suara Pangeran Pringgalaya memecahkan keheningan . Deburan ombak bergulung gulung terasa menghantam dada Pangeran Jayaraga, ditariknya nafas dalam – dalam untuk menenangkan hatinya , lalu sahutnya, " Kenapa ? " " Apakah karena mendengar suara ledakan itu dimas menganggapku tak mampu meneruskan latih tanding ini ?" sahut Pangeran Jayaraga, " Jangan dikira aku tak mampu mengalahkanmu " " Hem " terdengar Pangeran Pringgoloyo desah perlahan. Hutan perdu itu menjadi sunyi senyap, angin semilir membelai wajah mereka, sinar rembulan serasa enggan menerangi hutan perdu itu. " Kenapa dia hadir disini ? " pertanyaan itu telah muncul di benak Pangeran Jayaraga. " Apakah dia tahu rencanakaku ? " gumam Pangeran Jayaraga dalam hati. " Aku ingin memberikan pelajaran terhadap Pringgoloyo, agar tahu siapa Pamannya dalam kanuragan dan dia akan menyampaikan kepada Dimas Hanyakrawati apa saja yang dilihatnya ". Pikiran Pangeran Jayaraga terus berkecamuk, hatinya bergolak, berbagai kepentingan pribadinya dengan nafsu membara terus mendesak akal sehatnya. " He manusia bercambuk, apa maumu ? keluarlah ! Tampakkan dirimu di hadapan Jayaraga " terdengar teriakan yang dilambari oleh kekuatan tenaga cadangan, suaranya bergulung – gulung membentur pohon di hutan perdu itu. " Untuk apa kau datang ? " Jangan ikut campur, aku putra Mataram siap menghapusmu dari muka bumi ini " masih terdengar suara bergulung-gulung Pangeran Jayaraga. " Paman, apakah Paman menyadari apa yang paman ucapkan ? " suara Pangeran Pringgalaya terdengar bergetar. " Pringgoloyo, sebagai putra Mataram aku bertanggung jawab atas apa yang aku katakan" "Bukankah orang bercambuk itu sahabat leluhur kita pada masanya ?" tanya Pangeran Pringgoloyo. " Apakah paman belum pernah mendengar ceritera tentang orang bercambuk itu ? " perkataan Pangeran Pringgalaya meluncur demikian saja. Terlihat Pangeran Panaraga itu mengerutkan keningnya, dadanya terasa berdentang. Pernah didengarnya dari beberapa Tumenggung dan juga Ki Patih Mandaraka perihal orang bercambuk itu, perjuangan dan pengabdiannya terhadap mataram sejak baru dibuka dan bahkan sebelumnya, tapi itu semua hanya ceritera dan belum pernah dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri. " Jangan selalu sebut putra Mataram paman, kita sama – sama lahir di bumi Mataram sedangkan masih banyak lagi beribu-ribu orang yang lahir di bumi Mataram " Terdengar gemeretak gigi Pangeran Jayaraga. " Paman hentikan, mintalah restu Eyang Patih Mandaraka, ketahuilah paman aku tidak berminat berkuasa di manapun di wilayah Mataram ini" Berdesir tajam dada Pangeran Panaraga mendengar ucapan saudara dan masih keponakannya itu. Merenung sejenak, pikirannyapun melayang kesana kemari, rasa kecewa yang dalam terhadap pini sepuh Mataram yang menempatkannya di Panaraga serta keyakinannya bahwa orang bercambuk telah turut andil untuk membuangnya keluar dari kota raja Mataram, maka segera ia mengambil sikap. "Gembala, jika kau tidak mau keluar dari persembunyiannmu maka jangan salahkan aku jika aku akan membakar seluruh hutan ini dengan ajian pamungkasku" teriak Pangeran Jayaraga. Dan dalam sekejap terlihat Pangeran itu menggosokan kedua telapak tangannya dan perlahan lahan diangkat sampai batas kepala. "Gila, Paman, hentikan" terdengar teriakan Pangeran Pringgalaya mengguntur, Pangeran muda itu benar-benar terkejut bukan kepalang melihat sikap Pangeran Jayaraga itu, dengan gerak naluriah ia bergeser kesamping dan segera mempersiapkan ajian warisan leluhurnya, Aji Lawang Geni. Suasana sangat mencengkam, keduanya telah lupa pada janjinya masing-masing, untuk tidak menggunakan ajian pamungkasnya. "Tunggu Pangeran Panaraga, aku peringatkan atas nama Ki Patih Mandaraka, hentikan pemusatan nalar budimu" terdengar suara yang menggema seakan memukul lereng Merapi, suara yang langsung menukik menikam dada Pangeran Panaraga yang telah lupa diri itu. Terasa seribu duri kemarung telah bersarang didadanya. Tanpa sadar Pangeran Jayaraga mengatupkan bibirnya rapat – rapat seolah menahan sesuatu yang sangat menyakitkan dadanya. Dalam ketegangan yang semakin memuncak tiba – tiba telah hadir angin pusaran yang berwarna hitam kelam, dengan suara berdesing pelan, berputar tanpa merusak hutan perdu itu. Kedua Pangeran seakan - akan berdiri mematung menatap angin pusaran itu. Sejenak kemudian angin pusaran bergerak semakin lambat dan akhirnya hanyut dihisap alam hutan perdu itu, sejalan dengan hilangnya angin pusaran itu, muncullah sesosok yang telah dikenal oleh kedua Pangeran itu, terlihat samar-samar sebuah bayangan seseorang yang berdada bidang, berkulit sawo matang dengan tatapan mata lembut, terlihat tubuhnya sangat kokoh dengan kaki seolah menancap ke bumi. "Selamat malam Ki Rangga" sapa Pangeran Pringgalaya. "Selamat malam Pangeran berdua" balas seseorang yang ternyata adalah Ki Rangga Agung Sedayu. "Mohon dimaafkan hamba telah mengganggu, Pangeran " Pangeran Panaraga terlihat bersungut - sungut dengan mulut berkomat kamit tapi belum berbicara apapun. Pangeran Pringgoloyo berjalan mendekati Ki Rangga dan berhenti disampingnya. " Kenapa Pangeran ada disini ?, "Bukankan Pangeran telah mendapat perintah dari Ki Patih untuk perjalanan ke Madiun ?" "Bukankah Pangeran juga dilengkapi dengan perlambang tunggul Mataram dan tidak seharusnya siapapun yang bisa mencegah tugas Pangeran ?" kata Ki Rangga dengan suara agak meninggi. Pangeran Pringgoloyo terlihat mengangkat wajahnya dan hendak menjawab pertanyaan Agung Sedayu, tetapi. "Diam kau Sedayu, jangan sesorah di hadapanku, Jangan menuduhku menghambat tugas Pringgoloyo, ketahuilah Sedayu, aku tidak berniat apa-apa, aku hanya ingin memberi tuntunan kanuragan saja kepadanya " sahut Pangeran Jayaraga dengan suara gemetar menahan marah. Nampak kening Ki Rangga Agung Sedayu berkerut, sambil menghela nafas panjang, katanya "Maafkan aku Pangeran, jika demikian biarkanlah Pangeran muda meneruskan perjalanannya ke timur dan aku akan mengikutinya meskipun tidak semata – mata" Ki Rangga diam sejenak, lalu lanjutnya, "Sebenarnyalah aku telah diutus Ki Patih Mandaraka untuk memastikan bahwa tugas Mataram yang dipikul Pangeran Pringgoloyo harus selesai dan Pangeran mudapun harus kembali ke Mataram dalam keadaan selamat". "Persetan kau Sedayu, Pringgoloyo tidak butuh perlindunganmu, dia bisa jaga diri, bukankah dia dikawal oleh sekelompok pengawal Mataram dan tugasnya ke Madiun bukan sebagai duta ngrampungi, dia hanya menyampaikan pesan Dimas Panembahan Hanyakrawati saja, jadi tidak akan ada yang mengganggunya selama perjalanan". " Bagaimana dengan keadaan sekarang ini, Pangeran ? " tanya Ki Rangga. "Apakah perang tanding ini juga merupakan bagian dari tugas Pangeran Pringgoloyo ? " lanjutnya. Tampak memerah wajah Pangeran Panaraga itu, pertanyaan itu bukan hal yang sulit untuk di jawah, tetapi karena merasa dirinya diadili oleh seorang Rangga, maka hatinya menjadi semakin panas, nafasnya semakin memberu eoolah udara di rongga dadadnya berdesakan ingin keluar. " Ki Rangga, apakah kau sadar dengan siapa kau berhadapan, aku Pangeran Mataram sedangkan kau hanya sebagai prajurit dan kedudukanmu hanya sebagai Rangga, apakah hak mu terhadapku ?" sergah Pangeran Panaraga itu. " Apakah hakmu menuduhku menggangu tugas Pringgoloyo " Mendengar perkataan Pangeran itu, hampir saja Ki Rangga jatuh kepada sifat dan watak aslinya, hatinya terlalu lembut untuk berdebat pada hal – hal yang menyangkut urusan duniawi, sejak semula seorang manusia yang bernama Agung Sedayu ini adalah seorang yang berhati lembut dan peragu. Kedudukan duniawi baginya bukanlah hal terpenting, berbuat bagi tatanan kehidupan yang lebih baik adalah tujuan hidupnya sejak semula, tak perduli di Jati Anom atau di Tanah Perdikan Menoreh maupun di Mataram. Baginya setiap perbuatan harus bermanfaat bagi keluarga dan sesamanya, kalaupun sekarang dia menjadi prajurit Mataram itu adalah bentuk pengabdiannya bagi lingkungannya dan kebetulan saja ia telah menjadi prajurit Mataram. "Aku tidak pernah memilih, aku hanya menerima takdirku" semboyan itu selalu melekat dan terpahat di dinding hatinya. Dalam kebisuan sesaat itu, Pangeran Pringgoloyo cepat menanggapi keadaan. "Paman, baiklah aku berterus terang bahwa sebenarnyalah Ki Rangga bertugas mendampingiku ke Madiun, selain Tunggul yang aku bawa, Ki Rangga juga membawa pertanda Mataram, bahkan nilainya lebih tinggi dari pertanda yang aku bawa" jelas Pangeran Pringgoloyo yang mencoba membantu kesulitan Ki Rangga. Agung Sedayu bagaikan terbangun dari mimpinya mendengar ucapan Pangeran muda itu, dihirupnya seluruh udara hutan perdu itu sepuas-puasnya, jiwa keprajuritannya mulai tumbuh kembali dan rasa tanggung jawab terhadap tugasnya mulai menggelegak kembali memenuhi rongga dadanya. "Aku adalah utusan Ki Patih Mandaraka, Pangeran" kata Ki Rangga perlahan. "Setan kau, jangan berlindung di belakang punggung Ki Patih, aku muak " sergah Pangeran Jayaraga. "Terserah Pangeran, aku hanya menjelaskan, kedudukan dan tugas yang aku emban, tidak lebih" sahut Ki Rangga, lalu katanya kepada Pangeran Pringgoloyo " Aku mohon diri Pangeran, ternyata aku telah keliru menilai Pangeran Panaraga, Pangeran muda silahkan melanjutkan tugas, ingatlah pada puncak purnama depan tugas baru telah menanti , segeralah berangkat ke Madiun". Selesai bicara Agung Sedayu segera bergeser surut, tetapi sebelum melangkah, tiba – tiba ia dikejutkan oleh kejadian di hutan perdu itu, sebuah pohon Sawo yang tidak begitu besar telah berderak – derak patah bagai diguncang angin prahara dan akhirnya tumbang, roboh menimpa bumi. Agung Sedayu mengerutkan keningnya, segera berpaling dan ditatapnya Pangeran Jayaraga dengan segudang pertanyaan. "Agung Sedayu, urusanku dengan Pringgoloyo sudah selesai dan sekarang aku akan mengurusmu" geram Pangeran Jayaraga "Apa maksud Pangeran ?" tanya Agung Sedayu. "Jangan seperti anak kecil yang merengek minta mainan, kau tentu sudah tahu maksudku Rangga" bentak Pangeran Jayaraga. "Paman, itu tidak perlu" sahut Pangeran Pringgoloyo cepat-cepat. Sebenarnya dia lebih baik diam dan persoalannya akan cepat selesai, tetapi setelah mendengar niat Pangeran Jayaraga untuk mengurus Ki Rangga Agung Sedayu, dengan sangat terpaksa Pangeran Pringgoloyo bicara. "Jangan ikut campur Pringgoloyo, Mataram tidak akan menjadi lemah tanpa gembala ini" terdengar suara Pangeran Panaraga meninggi. Tidak seperti biasanya, Agung Sedayu akan membuat seribu pertimbangan untuk berbuat sesuatu, tapi kali ini tidak. Ditatapnya tajam – tajam Pangeran Jayaraga dan kemudian katanya "Baiklah Pangeran, sebenarnyalah hal ini yang aku tunggu " dan kemudian kepada Pangeran Pringgoloyo, katanya "Biarlah aku urus Pangeran Panaraga ini, silahkan Pangeran Pringgoloyo menepi sejenak" Mendengar permintaan Agung Sedayu, Pangeran muda itu tak kuasa menolaknya dan tanpa sadar telah bergeser menepi. Pangeran Jayaraga seolah-olah telah tersihir sekejap melihat perubahan sikap Agung Sedayu, tak disangkanya orang bercambuk yang menurut banyak orang peragu itu langsung menerima tantangannya, bahkan terlihat dengan tenangnya mempersilahkan Pangeran Pringgoloyo untuk menepi "Tidak terlalu meyakinkan, meskipun sahabat leluhurku tetapi tentu ilmunya tidak akan menjangkau ilmuku, warisan Perguruan Selo" pikirnya. Meskipun ada keseganan berurusan dengan orang bercambuk, namun Pangeran Jayaraga itu ternyata telah berpikir lebih jauh lagi, penalarannya telah mulai terganggu, "Inilah kesempatan itu, Ki Patih tentu akan memujiku dengan mengalahkan orang bercambuk ini, bahkan akan menilai ulang tentang penempatanku di Panaraga. Tempatku bukan di Panaraga tetapi disini, di kota raja Mataram" terlihat Pangeran Jayaraga tersenyum, sebuah angan-angan terlintas dibenaknya . "Aku akan menangkapmu Sedayu, mengikatmu dan membawamu ke Kepatihan dan tentu Ki Patih akan melihatmu dengan kecewa dan setelah itu akan memberitahukan kepada Dimas Panembahan Hanyakrawti dan segeralah kau akan dilupakan". Mendengar ucapan itu, Agung Sedayu hanya tersenyum tipis, sama sekali tidak terbayang kecemasan diwajahnya, sikapnya tetap tenang. Dada Pangeran Pringgoloyo berdebar – debar mendengar rencana pamannya itu. Ada keinginan untuk mencegahnya, Pangeran muda itu tahu seberapa besar kekuatan yang tersimpan di dalam diri pamannya, sedangkan baginya Ki Rangga adalah kawan baru di dunia keprajuritan, meskipun Ki Patih Mandaraka sering mengatakan padanya bahwa Ki Rangga Agung Sedayu adalah simbol kekuatan Mataram, tetapi secara langsung belum pernah dilihatnya bertempur dengan musuh yang seimbang. "Bagaimana jika Ki Rangga kalah ?" pertanyaan yang tiba – tiba muncul. "Tidak sekedar kalah, pasti pamannya akan berbuat lebih bahkan mungkin diluar dugaanku" Kebimbangan telah mencengkam jantung Pangeran muda itu. Dalam perkelahian sebelumnya sangat terasa olehnya bahwa kekuatan pamannya belum di kerahkan sepenuhnya, masih tertahan oleh keseganan terhadap hubungan saudara, juga ramanya, tetapi terhadap Ki Rangga tentu berbeda, Pangeran Panaraga itu pasti akan menumpahkan ilmunya sampai tuntas tanpa ragu. "Apakah ajian pamungkasku akan sanggup menahan ajian pamungkas pamanda ?". Terlihat Pangeran muda itu sangat gelisah. Belum sempat Pangeran muda itu menemukan jalan keluarnya, tiba – tiba terdengar percakapan antara Ki Rangga dan pamandanya. "Jika itu yang Pangeran kehendaki, baiklah" jawab Agung Sedayu dan segera diulurkannya tangannya untuk diikat dan terlihat Agung Sedayu maju dua langkah. "Gila, bodoh dan pengecutnya kau Sedayu" bentak Pangeran Jayaraga. "Kenapa ?" tanya Agung Sedayu. "Mana ilmumu yang telah membuat orang Mataram kagum, tunjukanlah dan aku akan mengalahkanmu, melawan atau tidak, aku akan menyerangmu dengan ajian Pamungkasku Gelap Bawono" geram Pangeran Jayaraga. " Hem.." Agung sedayu memandang tajam kearah Pangeran Panaraga itu. Sekilas teringat adik seperguruannya di Sangkal Putung, Swandaru Geni. Seorang yang meledak – ledak, keras kepala dan kadang – kadang sering berbuat sesuka hatinya. "Pangeran yang keras kepala" gumamnya. Sudah diperhitungkan secara matang sebelumnya oleh Ki Patih Mandaraka tentang akan terjadinya benturan antara dirinya dengan Pangeran Jayaraga cepat atau lambat. Menurut Ki Patih sebaiknya hal itu harus segera terjadi untuk menghindari kesalahpahaman yang lebih luas lagi antara rakyat Mataram dengan rakyat Madiun. "Ki Rangga harus memberi pelajaran secepatnya, carilah alasan yang tepat untuk itu " kata Ki Patih suatu saat kepada dirinya saat di Kepatihan. "Rakyat perlu ketenangan dan kedamaian Agung Sedayu" ujar Ki Patih. "Dengan menundukan Jayaraga maka para Adipati daerah timur akan berpikir seratus kali untuk melanjutkan niatnya memberontak terhadap Mataram". "Ketahuilah ki Rangga sebelum Pangeran Jayaraga ditempatkan di Panaraga, disana telah tumbuh lagi niat untuk melawan mataram dengan sokongan Adipati Surabaya dan Adipati Pasuruan" jelas ki Patih. Agung Sedayupun menarik nafas dalam – dalam, pergulatan antar keluarga istana yang selalu mengorbankan rakyatnya, dalam benaknya terpikir bahwa dunia ini perlu keseimbangan. Demi tegaknya urip bebrayan agung maka diapun menyanggupinya. Sebenarnyalah sesorang telah mendukung niat Ki patih dan Agung Sedayu itu. Seseorang yang sudah lama sekali menghilang dari gejolak seputar pemerintahan Mataram, meskipun mengenakan ikat kepala khusus, nyatanya tak bisa menahan perubahan warna rambutnya, sudah memutih semua dan orang mengingatnya sebagai lawan tangguh Panembahan Agung. Tanpa aba – aba, nampak Pangeran Jayaraga segera menyiapkan dirinya kembali, langsung pada puncak dari segala ilmunya, tanpa mengurangi bobot tenaga cadangannya dan bahkan telah ditambah sampai tingkatan tertinggi, Pangeran itu terdengar menggeram " Siapapun kau Agung Sedayu, jangan salahkan aku, jika sebentar lagi jasadmu akan hancur lebur jadi debu dan namamu akan terlupakan di bumi Mataram" "He, bukankah Pangeran ingin menangkap aku hidup – hidup? Membawa ke Kepatihan dan menujukan kemenangan serta mempermalukanku" kata Ki Rangga setengah bergurau, masih ada niatnya untuk menghentikan benturan ilmu. "Persetan, gembala malang" geram Pangeran Jayaraga "Aku tahu kaupun memiliki ilmu yang cukup tinggi, tidak usah membuang waktu, aku akan menakarmu dengan puncak ilmuku" Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam, baginya tidak ada jalan lain kecuali membenturkan ilmunya, ia tidak mau lumat oleh ilmu warisan perguruan Selo. Semasa hidupnya Kyai Gringsing telah banyak ceritera tentang betapa saktinya Ki Ageng Selo, sampai sampai masyarakat sekitar Selo menjulukinya sebagai putra dari dewa petir. Pangeran Pringgoloyo seolah terbungkam, mulutnya menjadi kelu oleh kemarahan yang telah menyesakkan dadanya. Sementara Agung Sedayu tetap tersenyum tipis dan siap dalam kesiagaan tertinggi dengan berbagai macam ilmunya, diungkapkannya tenaga cadangannya meskipun tidak sampai tuntas, terpikir olehnya penderitaan yang pasti terjadi dan akan berkepanjangan bila nantinya terjadi perang lagi antara Mataram dan daerah Bang Wetan. Dalam kediamannya Ki Rangga telah memanjatkan doa kepada Sang Pencipta mohon bimbingan dan perlindunganNya. "Saat seperti ini aku telah dipaksa kembali oleh keadaan, semoga Guru mengampuni aku, tiada niat untuk menyombongkan diri" desisnya di dalam hati. "Baiklah, Pangeran telah memaksaku dengan tanpa pilihan, Jika Raden Sutawijaya masih ada dan melihatku maka tentu Panembahan Senopati itu akan mentertawaiku" ucap Ki Rangga sambil bergeser mundur beberapa langkah, bersamaan terlintas kenangannya ketika bertemu Senopati Ing Ngalaga, saat ia dan gurunya baru pertama kali membuka Padepokannya di Jati Anom dan Raden Sutawijaya telah menantangnya berkelahi tanpa sebab. "Kenangan yang indah " gumamnya perlahan seolah –olah kepada dirinya sendiri. "Apakah kau mengigau Ki Rangga?, kau berkata seolah Panembahan Senopati akan mentertawaimu ketika menghadapiku ?". "Hem.. tidak ada sangkut pautnya, bahkan beliau akan kagum melihat salah satu putra Mataram telah menunjukkan kemampuan sebenarnya, sehingga Mataram tidak bergantung kepada orang lain" kata Pangeran Jayaraga membuyarkan lamunan Ki Rangga Agung Sedayu. Sesaat kemudian, tanpa meninggalkan kewaspadaan ditatapnya mata Pangeran Jayaraga, Agung Sedayu berkata, "Pangeran Panaraga, aku akan menunjukan padamu, siapa sebenarnya sahabat dari Raden Sutawijaya ini". Sekilas wajah Ki Rangga tampak menegang, keragu raguan yang selama ini selalu mencengkamnya telah hilang dihembus angin Lereng Merapi, keyakinan akan paugeran hidup yang telah ditetapkaNya serta nasehat Ki Patih Mandaraka dan Ki Waskita, maka pendiriannya semakin mantap, ditingkatkannya kewaspadaannya dan sejenak kemudian setelah menarik nafas panjang – panjang, iapun berkata, "Apakah Pangeran sudah siap?" dan katanya kepada Pangeran Pringgoloyo "Hamba mohon ijin Pangeran, semoga hamba dijauhkan dari sikap deksura. "Sombong sekali" geram Pangeran Jayaraga. Keyakinan terhadap tingkat ilmunya dan telah diuji oleh beberapa peristiwa dalam perjalanan hidupnya, Pangeran Jayaraga semakin pasti dapat melumatkan Ki Rangga, pengakuan Ki Patih saat menyaksikan perang tanding antara dirinya dengan saudara seperguruan Rangga Kaniten dari timur semakin menambah percaya dirinya. "Ki Rangga, apakah gurumu pernah berceritera tentang Eyang Selo" tanya Pangeran Jayaraga kepada Ki Rangga. "Benar Pangeran, guru berceritera tentang seorang putera dewa petir" jawab Ki Rangga, diam sejenak, lalu lanjutnya, "Seorang yang rendah hati, yang bekerja sebagai petani, suka menolong sesama dan sangat perhatian terhadap lingkungannya". Ki Rangga diam sejenak, lalu lanjutnya "Apakah Pangeran merasa memiliki kemampuan seperti Ki Ageng Selo ?" tanya Ki Rangga. Sementara itu Pangeran Pringgoloyo merasa kepalanya semakin pening mendengar percakapan antara Ki Rangga dengan pamanya. Perasaan kecewa terhadap pamannya menjadi semakin dalam, tetapi sisi yang lain ia tidak mengerti, alasan apakah yang mendorong Ki Rangga bersedia membenturkan imunya dengan ilmu warisan perguruan Selo, perguruan kakeknya sendiri. "Ki Rangga pasti punya alasan yang dapat dipertanggungjawabkan " katanya dalam hati. Kebimbangannya semakin menjadi-jadi takala mendengar geram pamannya. "Ki Rangga, apakah kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan" kata Pangeran Panaraga lantang. Tiba tiba langit menjadi kelam cahaya bulan hanya menembus tipis, kabut hitam telah memagari arena di hutan perdu itu, itulah akibat awal ilmu ajian Gelap Bawono, terlihat Pangeran Jayaraga bergerak dan bergesar satu langkah kesamping, kaki kanannya bergerak kedepan, membuat gerakan membentuk lingkaran kecil, setelah berhenti lalu ditekuk lututnya merendah dan sekali lagi digosokan kedua telapak tangannya dan perlahan – lahan naik keatas dadanya dan akhirnya berhenti di muka wajahnya, katanya "Jangan kau tahan ilmumu gembala, lepaskan semuanya sampai tuntas agar ragamu tetap utuh" Pangeran Pringgoloyo benar-benar membeku tegang, "Apakah yang harus aku lakukan?" gumamnya dalam hati. "Apakah ajianku sanggup menahan ajian Selo ini" "Apakah aku hanya akan berdiam diri saja " "Bagaimana jika nantinya Ki Rangga Agung Sedayu tak mampu menahan ajian itu ?" "Aku akan menjadi seorang pengecut bila membiarkannya," terdengar gemeretak gigi Pangeran muda itu dan segeralah diungkap ajian pamungkasnya Lawang Geni. Namun langkahnya tertahan. "Pangeran muda, ajian Lawang Geni saat ini belum waktunya untuk melawan ajian Gelap Bawono milik Pangeran Jayaraga, menepilah dan ungkap ajian Tamengwaja sampai kepuncaknya" terdengar suara lembut mengetuk telinga batinnya. "Yakinlah Pangeran, mohonlah dan semoga Sang Pencipta memberi perlindungan bagi kita semua" masih terdengar suara Ki Rangga lewat aji Pameling yang kuat yang hanya ditujukan kepada orang yang dikehendakinya saja. Pangeran Pringgoloyo tidak menjawab hanya dianggukannya kepalanya, diakuinya kekuatan aji pamelingnya belum setingkat dengan Ki Rangga dengan demikian yakinlah Pangeran muda itu akan kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan gerakan cepat sekali sambil berteriak nyaring Pangeran Jayaraga telah menghentakkan kakinya kebumi dan bagaikan terbang dengan menjulurkan tangan dengan telapak terbuka menghantam langit, sekejap.... maka meluncurlah ajian Gelap Bawono mengejar dan menghajar tubuh Agung Sedayu yang sedari tadi hanya berdiam diri, seolah tanpa persiapan. Jantung Pangeran Pringgalaya seakan berhenti berdegup. "Ternyata Pangeran Panarga itu memang menyimpan ajian yang seperti di ceriterakan oleh Eyang Patih Madaraka kepadanya". Sebuah ajian yang maha dahyat warisan Perguruan Selo, telapak tangan Pangeran Madiun itu terbuka mengahadap keatas dan terlihat sinar yang sangat menyilaukan turun dari langit dan menyambar dan sekaligus menghantam tubuh Agung Sedayu. Jika saja sasarannya bukan pimpinan perguruan bercambuk dan murid terkasih dari Raden Pamungkas yang merupakan cucu Windujati maka tentu tubuhnya akan hangus dan meledak dengan daging dan tulang berserakan. Sekejap kemudian, secepat tatit diudara terlihat seorang penggembala yang bernama Agung Sedayu itu menghentakkan cambuknya menghantam kilat di langit dengan puncak ilmu Lebur seketi yang telah matang dan telah dirangkapi dengan ilmu Bayu Dirga, sebuah ilmu yang tersimpan rapat di rontal Kyai Gringsing, tak tertulis dengan jelas dan hanya tersirat saja, hanya karena karunia tiada tara dari Sang Pencipta lah putra Ki Sadewa itu berhasil menguasainya, bahkan Kyai Gringsingpun mengakui bahwasanya Bayu Dirga belum dikuasainya dengan sempurna. Alam yang tadinya gelap gulita telah menjadi terang benderang, benturan ilmu benar –benar telah terjadi maha dahyat, seolah telah terjadi gempa dilereng Merapi, bumi pijakan di hutan perdu itu terasa bergoncang, Daun menguning telah gugur berserakan , dahan dan ranting berpatahan, udara malam yang dingin berubah menjadi panas mebara seperi lahar di puncak Merapi. Benturan ilmu itu membuat pantulan dahsyat dan menyebar kemana – mana, menghantam pohon – pohon rindang, mengguncang pohon randu raksasa, hingga menyinggung tubuh Pangeran Pringgoloyo. Sebenarnyalah Pangeran muda itu telah mengetrapkan aji Tameng Waja dalam puncak kekuatannya, sejauh dapat dilakukannya, tetapi tetap saja tak dapat menahan pantulan akibat benturan kedua ilmu itu, tubuh Pangeran Pringgoloyo terpelanting dan tersungkur jatuh di semak belukar, dan akibat lebih parah terjadi pada Pangeran Jayaraga, tubuh Pangeran Panaraga yang tengah terbang telah tersentak oleh kekuatan yang tiada terkira olehnya, meluncur dengan derasnya menghantam pohon sawo kecik, terjatuh, diam dan membeku. Tidak jauh dari tubuh Pangeran Panaraga tampak Ki Rangga Agung Sedayu tengah berloncatan kesana kemari menghindari tumbangnya pohon – pohon besar yang tumbuh di hutan perdu itu dari, dengan ilmu meringankan tubuhnya mumpuni, bagaikan terbang telah meluncur mendekati tubuh Pangeran Pringgoloyo yang ternyata telah pingsan, bersamaan dengan kedatangannya, tampak dahan pohon randu alas telah patah dan akan menimpa tubuh Pangeran Pringgoloyo, dengan sigap melenting tinggi dan sekali lagi dilecutkan cambuknya menghantam dahan itu, tidak ada bunyi ledakan, terdengar hanya bunyi berdesing saja akibatnya dahan itu hancur dan berubah jadi butiran hitam yang sangat halus. Kemudian suasanapun menjadi hening dan membeku, setelah mengatur pernafasannya, perlahan-lahan Agung sedayu terduduk ditanah, pemusatan nalar dan budi telah dilakukannya, Ajian Gelap Bawono telah menggetarkan dada sampai menusuk jantungnya, tak lama kemudian dengan tarikan nafas panjang, terlihat Agung Sedayu telah selesai dengan semedinya dan perlahan berdiri dan berjalan kearah Pangeran pringgalaya yang masih terbaring diam, disentuhnya di bagian belakang telinga dan diberikannya beberapa totokan di bagian dada dan punggung maka sadarlah Pangeran muda itu. Di Mataram Ki juru Martani ditemani oleh Ki Wakita duduk terpekur di Pendapa Kepatihan, wajahnya terlihat muram. Terlintas beberapa wajah kerabat dan sahabatnya yang telah mendahuluinya. "Hem.. mereka telah mendahuluiku," gumamnya. "Gusti Patih" terdengar suara menyapa dari longkangan dalam. Mendengar seseorang memanggilnya Ki Patih Mandaraka segera menoleh kearah suara itu, rupaya abdi dalam telah bersimpuh di lantai sambil menunggu perintah. "Ampun Gusti, hamba telah mengejutkan" lanjutnya dengan kepala tertunduk. "Tidak Lambang, hanya aku saja yang sudah mulai renta dan mudah terkejut" kata Ki Patih perlahan sembari tersenyum. "Bukankah begitu Ki Waskita?" Kata Ki Patih sambil menoleh kekanan melihat sahabatnya yang rambutnya sudah memutih semuanya. "Hamba Ki Patih" sahut Ki Waskita perlahan dengan senyuman tersungging di bibirnya. "Ada apa Lambang? Bukankah engkau aku tugaskan kerumah Temenggung Singayudha?" "Hamba Ki patih, kedatangan hamba akan melaporkan hasil tugas hamba" jawab abdi dalem itu. "laporkan Lambang, berkatalah jujur meskipun membuat hatiku sedih" ujar Ki Patih. Setelah membetulkan duduknya, mulailah Lambang menceriterakan dari awal sampai akhir tugasnya, tanpa ada yang terlewat, bahkan pada bagian penting telah diulangi beberapa kali dan Lambangpun mengakhiri laporanya dengan menyembah Ki Patih. Terlihat Ki Patih menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya "Jadi Tumenggung Singayuda masih dihutan itu?" "Benar Ki Patih" "Agung Sedayu tengah mengobati luka dalam Pangeran Panaraga ?" tanya ki Patih. "Benar Ki Patih" "Kenapa tubuh Pangeran Panaraga itu tidak di bawa ke Kepatihan saja?" tanya Ki Patih. "Ampun Gusti, menurut Ki Rangga Agung Sedayu tak ada waktu lagi, luka Pangeran Panaraga sangat parah. Ki Rangga tidak ingin terlambat Gusti" jelas Abdi Dalem itu. Ki Patih terdengar berdesah dan memandang arah Ki Waskita, tetapi sahabatnya itu tetap menundukkan kepalanya. Suasana di Pendapa Kepatihan itu menjadi hening, terpikir oleh Ki Patih bahwa awan hitam telah berarak menuju Mataram "Apakah harus terjadi berulang kali perang saudara yang tidak perlu itu. Peperangan antara saudara akan selalu membuat Mataram lemah, sampai kapan Jawa Dwipa ini dapat disatukan kembali seperti jaman Majapahit ? Gemah ripah loh jinawi" "Lambang, dengar permintaanku " berkata Ki Patih, " Tetaplah di Kepatihan dan jangan katakan kepada siapapun tentang peristiwa ini, aku akan ke hutan perdu itu bersama Ki Waskita" "Hamba Ki Patih " Sejenak kemudian Ki Patih bersama Ki Waskita bergegas menuju ke halaman depan. "Kita pergi ke hutan perdu dengan naik kuda saja Ki Waskita " kata Ki Patih. Tampak Ki Waskita menganggukan kepalanya. "Apakah ki Patih sudah tidak kuat lagi jalan kaki meskipun tidak terlalu jauh " canda Ki Waskita "Ah... tentu tidak sekuat dulu Ki Waskita, hanya aku ingin terlihat biasa saja saat ini, tidak menarik perhatian, supaya tidak banyak pertanyaan" jelas Ki Patih sambil tersenyum. Tampak Ki Waskita mengangguk anggukkan kepalanya. Kedua nya telah meninggalkan halaman Kepatihan, kudanya berlari tidak terlalu kencang. Ki Waskita seolah telah melihat Agung Sedayu tengah duduk bersila "Seorang yang punya budi pekerti yang mulia, sejak pertama aku melihatnya, aku sudah mempercayainya " gumamnya dalam hati. "He.. Ki Waskita, nampaknya engkau tidak tertarik pada persoalan Agung Sedayu kali ini" teriak Ki Patih sambil memacu kudanya perlahan dan sementara kudanya terus berlari kearah utara. Ki Waskita hanya tersenyum kecut mendengar gurauan Ki Patih Mandaraka. "Kita belok kekanan" tak lama kemudian mereka berdua telah melihat Agung Sedayu seorang diri duduk bersila dibawah pohon randu yang telah menghitam. Melihat kedatangan Ki Patih dan Ki Waskita maka Ki Rangga segera berdiri dan memberi salam, "Waalaikum salam" terdengar jawaban hampir bersamaan dari kedua orang tua yang baru datang itu. Sedangkan Pangeran Pringgoloyo juga menghaturkan salam dengan posisi tetap duduk. Keduanya segera turun dari kudanya dan medapatkan Ki Rangga dan Pangeran Pringgoloyo, dengan mengerutkan keningnya Ki Patih bertanya, "Dimana anakmas Jayaraga?" "Ampun Ki Patih, Pangeran Jaya raga belum sadarkan diri, hamba telah berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya, tetapi karena keterbatasan pengetahuan hamba tentang obat – obatan maka kondisinya belum pulih dan masih memerlukan perawatan". Selesai memberi keterangan maka Ki Rangga telah mengajak kedua orang tua itu ketempat dimana Pangeran Jayaraga terbujur diam. Tidak terlalu jauh, sesampai ditempat itu alangkah terkejutnya Ki Patih dan Ki Waskita melihat dua tubuh tergolek diam. Dengan memegang keningnya, ki Patih seolah memerlukan penjelasan bagaimana mungkin seorang Tumenggung bernama Singayuda tergolek pingsan di sisi Pangeran Jayaraga. "Ki Waskita, rupanya kita sangat beruntung datang terlambat" kata Ki Patih sambil tertawa tertahan, lalu lanjutnya, "Bagaimana jadinya jika kita menjadi saksi perang tanding ini, mungkin kita juga akan tertidur seperti Tumenggung Singayuda ini". Tampak ki Waskita menggelengkan kepalanya sembari tersenyum, kemudian katanya, "Tentu tidak Ki Patih, Ki Rangga tentu akan menggunakan ilmu yang lainnya dan tentu ilmu yang tidak menyentuh kita" Ki Patih tertawa perlahan, " Benar begitu, Ki Rangga ?" Ki Rangga tersenyum, dan mengajak kembali ketempat Pangeran Pringgoloyo. Ki Patih tidak segera bertanya kepada Pangeran Pringgoloyo maupun Ki Rangga, tetapi diedarkannya pandangannya ke semua arah di hutan perdu itu, dan katanya kepada Ki Waskita, "Kyai, apakah Prabu Airlangga telah datang dan mencoba ilmunya?". Ki Waskita pun terlihat kebingungan menjawab pertanyaan Ki Patih Mandaraka itu. "Baiklah, cucunda sekarang cobalah berceritera tentang kejadian di hutan perdu ini" pinta Ki Patih kepada Pangeran Pringgoloyo. Pangeran Pringgoloyo menarik nafas dalam – dalam dan mulai menceriterakan kejadian dari awal sampai akhir, sampai saat tak di ketahuinya tiba – tiba dia tak sadarkan diri, sementara itu nampak Ki Rangga hanya menundukkan kepalanya saja sambil menunggu tanggapan dari Ki Patih, meskipun sempat juga mencuri pandang ke arah Ki Waskita. Ki Patih mendengarkan ceritera Pangeran Pringgoloyo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa sadarnya sekali lagi diedarkannya pandangannya berkeliling ke hutan perdu itu, perasaan kagum serta heran merayapi hati penasehat Mataram itu, dalam usia yang belum mencapai separo baya itu Ki Rangga Agung Sedayu telah mencapai tataran ilmu yang sedemikian tingginya melewati angkatan tua, bahkan tumbuh keyakinannya dalam beberapa waktu kedepan tentu sudah sangat langka orang yang dapat menyusul ketinggian ilmu seorang yang asal muasalnya adalah seorang penakut dan pengecut. Sementara itu Ki Waskita hanya berdiam diri saja, kepalanya tertunduk, ternyata pikirannya telah menerawang jauh kedepan, rasa khawatir telah tumbuh di hatinya, bukan soal Agung sedayu melainkan tentang Mataram. Isyarat yang diterimanya menggambarkan bergumpal – gumpal awan gelap telah turun bergerak dari gunung merapi menuju Mataram. " Apa artinya ini ?" keluhnya. Matahari semakin terik, dan sudah hampir melewati puncaknya, terdengar suara burung jalak berkicau tiada hentinya. Pangeran Jayaraga telah di bawa ke Mataram dan beberapa minggu kemudian sudah pulih kembali meskipun tidak seperti sediakala, ingatannya mengalami kelumpuhan ringan, atas seijin Panembahan Hanyakrawati, Pangeran Jayaraga telah dihantar pulang ke Panaraga. Sementara itu Pangeran Pringgoloyo pun telah selesai dengan tugasnya dan telah kembali ke Mataram dengan selamat, Ki Ranggapun telah berkumpul dengan keluarga besarnya di Menoreh, kembali menjalankan tugasnya sebagai Senopati pasukan khusus Sementara itu di utara bumi Mataram angin berhembus perlahan mengusap lembut wajah merapi, burung – burung beterbangan kian kemari menadai kehidupan di alam jagad raya ciptaan Sang Illahi. " Kyai, apakah tidak ada keinginan untuk membantu negeri Mataram lagi ? " tanya sesorang yang bertubuh kurus, yang mempunyai kulit bersih,berwajah damai dengan sorot mata penuh kelembutan. Suasana membisu, tidak terdengar jawaban. Bongkahan batu padas sebesar kerbau jantan itu tersusun rapi dan berjajar seolah membentengi tempat dimana kedua orang tua itu berbicara. " Api ini telah padam sejak dulu, aku tidak mempunyai kepentingan apapun, sekarang sudah saatnya bagiku menenangkan diri dan memohon rakmat dan ridho Sang Pencipta, sebagai bekal kelak dikemudian hari, sebenarnyalah umurku tidak akan lama lagi " gumam orang tua itu dalam hatinya. Pembicaraan kedua orang tua itu tetap berlansung beberapa lama. " Mengasingkan diri dengan menuntut ilmu dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta adalah suatu perbuatan mulia, tetapi jika kemudian seseorang itu tak acuh dan tak perduli kepada lingkungannya apakah itu di benarkan oleh ajaran agama serta keyakinan kita kyai ? " Percakapan yang sebenarnya sangat menggelisahkan bagi orang tua yang duduk di batu hitam itu. Selalu di kenang masa lalunya dan terpahat rapi didinding hatinya, suka dan duka dalam menjalani kehidupan telah dirasakannya, berpetualang dari bang wetan sampai ranah Pajajaran telah di lakukannya bahkan semasa mudanya pernah mengikuti gurunya pergi ke tanah wiraraja. Kepergiannya selama ini, sebenarnya adalah timbulnya rasa lelah dan penyesalan serta keputusasaannya terhadap masyarakat di lingkungannya, kepandaiannya dalam obat – obatan telah disalah artikan. Di kenangnya saat itu, di padepokan Jati Anom, seseorang ibu telah datang kepadanya sambil membawa anaknya yang sudah meninggal dunia, dengan menangis memohon untuk bisa dihidupkan kembali anaknya, ia dengan segala kemampuannya mencoba menjelaskan dan menyadarkan bahwasanya anak itu telah meninggal dunia dan tidak dapat hidup kembali, tetapi rupanya sang ibu tetap tidak mempercayainya bahkan sambil marah ibu itu menuding serta menhujatnyanya sebagai pendusta, saat itu kebingungan telah mencengkam hatinya, karena tidak sampai hati melihat penderitaan ibu itu akhirnya ia melakukan kesalahan yang menurutnya tidak bisa dimaafkan. Nampak orang tua itu menarik nafas dalam – dalam digeleng – gelengkan kepalanya, kegelisahan dan kecemasan tergurat jelas di wajahnya. Terlintas sesaat, kenangan masa mudanya, ketika dia pergi ketimur bersama gurunya dan di perkenalkan pada seorang putri keturunan dari Adipati Tuban. " Sungguh suatu kebodohan, sebenarnyalah putri itu akan terselamatkan seandainya saat itu aku mau menerima dan membawanya ", " Hem.. aku masih terlalu muda saat itu" desahnya dalam hati. Kehampaan hidup telah menjadi takdirnya. Penyesalan dan keputus asaan telah mendorongnya untuk menyingkir dari lingkungannya. Kesabaran gurunya dan ketulusan kakeknya sangat menolongnya dalam mengarungi kehidupan selanjutnya. Sejak saat itulah dia tenggelam dalam dalam dunia barunya, mempelajari olah kanuragan dan kajiwan dari dua sumber yang berbeda. Selang beberapa tahun kemudian peristiwa pahit telah menimpanya, gurunya telah pergi ke Demak diiringi oleh seorang Sunan dari Kudus, meninggalkannya dan tidak pernah kembali, sedangkan ayahanda beserta ibundanya telah terlebih dahulu kembali kepangkuan Illahi saat mengikuti perjalanan ke timur Prabu Majapahit terakhir, hanya Empu Windujatilah satu – satunya harapan hidupnya, tuntunan tentang kehidupan yang tidak pernah berhenti dari sang kakek dan darah Majapahit telah menjadikannya seseorang yang tuntas kawruh ilmu perguruan Windujati. Atas saran kakeknya, berangkatlah dia menuju Demak, dalam perjalanan panjangnya selalu terngiang pesan gurunya sebelum meninggalkanya, " Pamungkas, mengertilah bahwa pengabdian yang sebenarnya adalah berbuat suatu kebajikan terhadap sesama tanpa pamrih dan jauhkan nafsumu dari perbuatan angkara dan berlindunglah hanya kepada Sang Pencipta " Tanpa disadarinya mata tua itu telah mengembun dan hampir menitikan air mata. Lamunan dan kenangan kedua tokoh tua terhenti, takkala salah satu orang tua itu bertanya sesuatu. " Apakah yang harus aku perbuat Kanjeng ? , tiada lagi kekuatan dalam raga ini, tiada lagi api dalam dada ini dan tiada lagi angin yang bertiup di jantung hamba ini " Tampak seseorang yang berwajah lembut itu menarik nafas dalam – dalam, mata hatinya menerawang jauh kedepan, dipandanginya puncak gunung merapi itu sepuas – puasnya. Kebimbangan juga telah melanda hatinya. " Kyai, ketahuilah bahwa sampai sekarang aku menjalankan tugasku ini tanpa henti dan tanpa terputus, siang dan malam pikiran dan tenagaku aku curahkan demi agama serta keyakinanku terhadap Illahi Robbi, aku ingin memberikan ilmu kepada semua orang di lingkunganku, khususnya ilmu keagamaan, aku bisa belajar agama dan disaat bersamaan aku juga mengabdikan diri kepada lingkunganku ", diam sejenak, lalu katanya " Apakah kyai tidak ingin melakukan sesuatu itu seperti yang aku lakukan, mendekatkan diri pada Sang Pencipta sekaligus mengabdi dan beramal kepada lingkungannya sesuai dengan jalan yang di ridhoi Nya " " Hem.... " desah orang tua itu, Merapi terasa bergetar sejenak, kedua orang tua yang sudah tuntas pengetahuan lahir dan bathinnya itu serentak memandang puncak Merapi. " Semoga ini bukan pertanda dari pembicaraan kita, Kyai " desisnya. " Baiklah Kanjeng Sunan, berilah petunjuk kepada hamba, bagaimana cara dan saat hamba harus memulai, sebagai murid, hamba akan menjunjung tinggi segala titah Kanjeng Sunan " berkata orang tua itu dengan kepala tertunduk. Orang tua yang di panggil Kangjeng Sunan itu terdiam, dipandanginya orang tua yang duduk didepannya, dan tak lama kemudian katanya, " Raden, sebaiknya memulai pengabdian tidak harus dengan keterpaksaan, yakinlah bahwa apa yang Raden lakukan saat ini dan yang akan datang akan selalu mendapat ridho dari Alloh SWT, aku akan selalu dekat dengan Raden dimanapun berada ". Kanjeng Sunan Muria berhenti sejenak dan berdiri berjalan kedalam gua yang tidak terlalu dalam itu dan berhenti di depan mata air kecil, diambilnya air itu dengan kedua tangan terbuka dan segera dibasuhkan ke wajahnya. " Kemarilah Raden " panggilnya. Raden Pamungkaspun berdiri dan berjalan kearah Sunan Muria. " Ramanda Sunan Kalijaga sering melakukan perbuatan seperti ini, mendekatlah Raden " pinta Sunan Muria, seakan ingin menunjukan sesuatu kepada sahabat sekaligus muridnya itu. " Lihatlah batu besar itu, bukankah kita sudah beberapa hari tidak makan dan minum ?, seharusnya semalam kita boleh udar tirakat, tetapi tidak ada makanan yang bisa kita makan sampai saat ini " Raden Pamungkas terdiam, berpikir sejenak, kira – kira apa yang akan dilakukan oleh Sunan Muria itu. " Sebaiknya kita sudahi saja Raden, tirakat kita saat ini ". Selesai bicara tampak Sunan Muria berjalan kearah batu besar itu dan mengetuk batu besar itu dengan telunjuk jarinya dan diulanginya sekali lagi. Keluarlah air dari batu besar itu dan segera di minum oleh Sunan Muria. " Silahkan minum Raden " kata Sunan Muria kepada Raden Pamungkas. Kyai Gringsing terkejut bukan buatan, dipandanginya batu itu tanpa berkedip, terasa perlahan dadanya berdebar – debar, tanpa disengaja ditajamkannya penglihatan bathinnya, sebagai orang tua yang telah kenyang manis asinnya kehidupan tentu dia tidak akan mudah dibohongi dengan ilmu semu atau sejenisnya. " Sentuhlah air itu Raden, itu bukan bentuk semu atau ilmu panggada soca " kata Sunan Muria seolah tahu apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh sahabatnya itu. Seperti tersedot pusaran kali progo dengan gemetar tangan Kyai Gringsing telah menyentuh air yang keluar dari batu itu, didalam pengetahuannya belum pernah dijumpainya sebuah ilmu seperti itu. Melihat keheranan di wajah sahabatnya itu, Sunan itupun berkata, " Raden dapat melakukan seperti yang aku lakukan ataupun ayahanda lakukan, cobalah Raden " " Ampun Kanjeng Sunan, hamba sudah menguasai berbagai ilmu kanuragan dan kajiwan tetapi ilmu Kanjeng Sunan hamba tak akan pernah bisa melakukannya " jawabnya lirih. Sunan Muria tersenyum, dijawabnya," Raden, sesungguhnya ilmu itu sangatlah luas dan melebihi apa yang bisa kita lihat didunia ini, melebihi luasnya laut dan hamparan tanah di bumi ini, ada ilmu untuk memelihara, ada juga ilmu untuk merusak ", Gua yang tidak terlalu dalam itu seolah menjadi saksi bisu, tampak jubah Kanjeng Sunan yang semula putih bersih sudah berubah warna menjadi kecoklatan. " Ilmu yang lain adalah ilmu untuk mencipta " Bergetar rasa syukur di hati Kyai Gringsing mendengarkan petunjuk Sunan Muria itu, ternyata di usia tuanya dia masih diberi kesempatan untuk lebih memahami dan mendekat pada DzatNYa Masih dengan wajah tenang tersungging senyum yang tulus, Sunan itu mendekat dan di jabat tangan sahabatnya itu, " Berdoalah Raden sesuai dengan tuntunanku dan memoholah padaNYa dengan sekuat hati Raden, mintalah sesuatu yang seperti aku lakukan, insya Alloh Raden akan mendapatkan rahmat dan ridhoNya " Tiada hujan tetapi serasa terdengar halilintar menyambar dan meledak di mulut gua itu, pandangan mata Kyai Gringsing tampak kabur, lehernya terasa tak mampu menahan berat kepalanya, jari – jemarinya pun terasa tiada bertulang. " Ya Gusti Pangeran penentu semua kehidupan di alam jagad raya, berilah hambamu ini kemurahan dan keridhoanMu " doanya. Setelah melaksanakan kewajibannya, duduklah kembali Raden Pamungkas diatas sebuah batu hitam, orang tua itu memejamkan matanya, memanjatkan doa permohonan kepada Illahi Robbi sesuai tuntunan Sunan Muria. Dalam keheningan, Sunan Muria telah berdiri menghadap pada sahabatnya itu, di julurkan ke dua belah tangan dan berhenti tepat diatas kepala Kyai Gringsing, tampaklah kabut tipis seolah keluar dari telapak tangan itu dan masuk ke raga sahabatnya lewat cakra mahkota, sekejap kemudian terlihat tubuh Kyai Gringsing bergetar pelan. Sembari menarik nafas pelan sekali, Sunan Muria mundur dua langkah dan dibiarkannya Raden Pamungkas menyelesaikan semedinya. Tak lama kemudian, Kyai Gringsing telah membuka matanya dan menyembah Sunan Muria seraya menghaturkan terima kasih yang tak terhingga. " Bukan kepadaku Raden, berterima kasihlah kepada Sang Pencipta alam semesta dan Junjungan Kita, sebenarnyalah sesuatu akan terjadi terjadilah bila Illahi Robbi menghendaki, nah sekarang lalukan seperti apa yang sudah aku perbuat Raden " perintah Kanjeng Sunan. Orang tua itu berdiri dan bergeser perlahan mendekati batu besar yang telah mengeluarkan air itu, dengan ragu – ragu dirabanya batu itu, tanpa sadar ia menoleh ke Sunan Muria. " Semoga tempat ini nantinya di kemudian hari terdapat air yang melimpah dan banyak dikunjungi orang, meskipun letaknya di lereng gunung " ujar Sunan Muria. Dengan ketetapan hati dan kepasrahan terhadap Penciptanya diketuklah batu itu dengan telunjuknya dan diulanginya sekali lagi, sebentar kemudian basahlah bartu itu dan segera memancarkan air meskipun kecil. " Subhanalloh " gumam orang tua itu memanjatkan syukur. Dengan tersenyum Sunan Muria berjalan keluar gua itu dan Raden Pamungkas mengikutinya dari belakang, mereka menuju sebuah pohon mahoni, mereka duduk bersila. " Sebaik – baiknya manusia adalah apabila dia bisa bermanfaat bagi sesamanya dan berjalan di arah yang telah di tentukanNYA dan menjauhi semua laranganNYA, " kata Sunan Muria, diam sejenak, selanjutnya, " sebelum Raden memulainya, aku telah menyiapkan sesuatu yang akan sangat membantu tugas Raden berikutnya, dan untuk Raden aku berikan kediamanku diatas bukit itu sebagai tempat terakhir bagi Raden jika saatnya tiba, tetap berdekatan denganku, aku ingin memenuhi pesan ayahanda Sunan Kalijaga ", kata – kata itu mengalir bagai air padasan menitik di hati Raden Pamungkas. Sejenak Raden Pamungkas mengangkat wajahnya, dipandanginya Sunan Muria itu dengan berbagai pertanyaan. " Baiklah Raden, aku berterus terang, bahwa selama aku mengikuti Kanjeng Sunan Kalijaga aku telah ditempa ilmu kajiwan dan kanuragan, saatnya di desa Kadilangu, ayahanda berkata," Anakku, dalam menyebarkan dan menjaga agama baru ini engkau haruslah kuat lahir dan bathin, pada saatnya nanti akan ada seseorang yang akan membantumu, akan muncul seseorang yang mempunyai darah dari Bang wetan dengan ciri – ciri seperti ini, bahwa orang itu selalu membawa benda panjang dan lentur menyerupai cambuk dan dalam ikat pinggangnya selalu terselip ramuan dari empon – empon terutama daun jati " Kanjeng Sunan Muria berhenti sejenak, dihirupnya udara lereng merapi itu, lalu terusnya, " Raden, aku telah mengikutimu dan memperhatikanmu sejak Raden membantu berdirinya Mataram, saat Raden bermain hantu – hantuan dan bernama Kyai Dandang Wesi. Juga tentang Kyai Damar seorang dukun yang dipercaya dapat menyembukan penyakit yang diakibatkan oleh hantu Mentaok meskipun itu hanya sebuah cerita ngayawara, apakah Raden Ingat ? " Raden Pamungkas yang tak lain adalah kyai Gringsing itu tampak tertawa perlahan, dihadapannya duduk seseorang Wali waskita, dengan penuh kesadaran di lihatnya kedalam dirinya sendiri, akhir perjalanan hidupnya telah membawanya kepada putra dari Sunan Kalijaga, seorang Ulama yang sangat di kagumi oleh kakenya,Empu Widujati. " Sudahlah Raden, aku harus segera kembali keutara, para santri dan masyarakatku pasti telah menungguku, aku sangat berharap Raden mengerti semua yang telah aku sampaikan, ketenangan dan kedamaian sangat di perlukan oleh lingkungan kita, sedangkan ketenangan dan kedamaian itu tidak akan tercipta dengan sendirinya, selama manusia tetap mengagungkan nafsunya dan selama masyarakat kita lupa dan tidak mau belajar tentang kehidupan dan DzatNya maka selama itu kehadiran Raden akan tetap selalu dibutuhkan, " Angin semilir membelai wajah putra Sunan Kalijaga itu, terdengar kemudian wejangannya, " Aku bangga mempunyai sahabat seperti Raden, mau belajar dengan tekun dan memperdalam ajaran yang telah aku sampaikan, ketahuilah, saat sekarang Raden telah mempunyai apa saja yang seharusnya di punyai seseorang, bersiaplah Raden kewajiban telah menunggu " Kyai Gringsing mendengarkan semua perkataan Sunan Muria dengan seksama, dicernanya setiap kata dan seolah telah disimpannya dalam kampil yang telah ia siapkan dan diletakan di dalam relung kalbunya. " Raden pergilah sementara waktu ke barat, berhentilah pada bangunan masjid yang terletak di lingkungan kasultanan Cirebon, temuilah seseorang yang bernama Rahadian Silirespati dan berikan kampil ini " ujar Sunan Muria sembari memberikan kampil kepada Kyai Gringsing, selanjutnya, " Rahardian Silirespati akan membantu mempersiapkan semua kebutuhan Raden dan sebelum pergi silahkan Raden mandi di belumbang yang telah aku bersiapkan di dalam gua yang tidak terlalu dalam itu, dan pada purnama ke enam mendatang kita akan bertemu kembali di Muria " Mendengar permintaan itu, Kyai Grinsing tampak menganggukkan kepalanya, mulutnya terasa terbungkam tak satu patah katapun yang bisa diucapkannya, kecuali perkataan, " Terima kasih Kanjeng Sunan, hamba akan melaksanakan semua titah, mohon doa restunya, semoga hamba bisa memenuhi kewajiban ini " " Aku mohon diri Raden, aku menunggumu pada purnama ke enam " Setelah mungucapkan salam, Sunan Muriapun segera membalikan badan dan berjalan menjauhi Kyai Gringsing. Sesaat kemudian duduklah kembali orang tua itu, pikirannya terbang kemana–mana, tanpa disadarinya terbayang wajah muridnya yang tengah mengabdi pada Mataram, seorang yang sangat patuh terhadapnya dan telah mewarisi segala ilmu yang ia miliki. " Akankah aku akan betemu dengan Agung Sedayu lagi ? " desisnya. Senja telah memeluk merapi, udara dingin telah menyentuh kulitnya " Baiklah, saatnya aku mempersiapkan diri sesuai petunjuk Kanjeng Sunan " gumam Kyai Gringsing. Dilangkahkannya kakinya menuju ruangan di dalam gua itu. Kehidupan terus berlangsung dengan segala keindahannya, meskipun terkadang timbul gejolak yang akan membuat kepedihan, matahari akan terus bersinar, anugerah ilahi akan selalu menyelimuti alam jagat raya yang penuh misteri. Di tanah Perdikan menoreh, hamparan padi terbentang luas, keelokan pemandangan alam yang tiada duanya, hari yang cerah dan langitpun nampak bersih membiru, terlihat Sukra dan Glagah putih saling bahu membahu mencangkul galengan sawah garapan keluarga Agung Sedayu, panas terik matahari tidak dihiraukannya, terlihat semakin bertambah dewasa dan tubuh Sukra semakin kekar, kulitnya sawomatang dengan sedikit hitam tersengat matahari Menoreh. " Sukra, galengan air harus sering kita bersihkan supaya tanaman padi kita dapat tumbuh subur dan kelak pada saatnya kita akan memetik hasil panen yang memuaskan " kata Glagah Putih sembari mengayunkan cangkulnya. Terdengar Sukra tertawa renyah, dipalingkannya wajah nya yang ceria itu ke arah Gragah Putih, dan jawabnya singkat, " iya kakang " " Tidak hanya itu, kita harus juga memperhatikan sumber dari air yang mengalir di galengan ini, sumber air itu harus terjaga, karena sebenarnyalah tanaman padi sangat bergantung pada berapa banyak air yang menggenanginya ". Sekali lagi terdengar Sukra tertawa tetapi dengan nada yang berbeda dan tidak menjawab sepatah katapun. " He.. kenapa kau tertawa saja, " kata Glagah Putih dengan nada kesal. Masih terdengar suara tertawa Sukra, kali ini ayunan cangkulnya berhenti, dipandanginya sepupu Ki Rangga itu dengan mata sedikit melotot sambel digeleng – gelengkan kepalanya, katanya, " Kenapa kakang menasehati aku ? Bukankah hampir setiap hari bersama Ki Jayaraga aku kemari, melihat air, melihat padi, melihat burung – burung yang hinggap di sawah kita ini ", diam sejenak dan lanjutmya, " Sementara kakang selalu pergi entah kemana, saat datang kakang hanya makan nasi dari hasil panen padi ini " Penjelasan dan jawaban Sukra mengalir deras seperi aliran air di galengan yang membasahi kakinya. Mendengar semua perkataan Sukra itu meledaklah tawa Glagah Putih sampai sampai hampir memecahkan gendang telinga Sukra. " Oh.. oh..maafkan aku Sukra " " Tidak, tidak bisa di maafkan aku akan katakan kepada Ki Jayaraga " jawab Sukra bersungut – sungut. " Ya sudah, nanti aku akan bicara kepada kakang Agung Sedayu, bahwa Sukra marah padaku dan meminta agar setiap hari aku harus pergi kesawah untuk menemaninya ", " Dan aku akan meninggalkan barak pasukan khusus demi membantu Sukra di sawah ", gumam Glagah Putih. Mendengar ucapan itu, mata Sukra terbelalak, wajahnya terlihat cemas dan seketika itu berjalan mendekat ke Glagah Putih, katanya setengah merengek, " Jangan kakang, jangan kau lakukan itu, biarlah sawah ini aku yang mengurus bersama Ki Jayaraga, kau dapat datang kapan saja ". Karena Glagah Putih masih terdiam, maka Sukrapun mengguncang-guncang lengannya. Glagah Putih pun segera berhenti menggoda, katanya sambil tertawa " Ya sudah, aku akan bicara saja ke Ki Jayaraga ", " Apa yang mau kakang katakan ? " " Akan aku katakan bahwa Sukra anak yang rajin, jadi selain harus mendapat kiriman dari Mbokayu Sekar Mirah, Sukra harus mendapat perhatian yang lebih " Sukra mengerutkan keningnya, dipasang telinganya baik – baik demi mendengarkan ucapan Glagah Putih berikutnya. " Perhatian apa ? " pikirnya. Sejenak Glagah Putih terdiam dan dilangkahkan kakinya menuju gubug iyupan yang letaknya tidak terlalu jauh, dengan perasaan gundah gulana di ikutinya setiap langkah kakangnya itu. " Aku akan memohon pada Ki Jaya Raga untuk meningkatkan olah kanuraganmu " kata Glagah putih membuka pembicaraan setelah keduanya duduk bersandar pada dinding bambu yang di buat Sukra dua pekan yang lalu. " oh.. syukurlah, terima kasih kakang " kata Sukra puas mendengarkan jawaban itu. Semilir angin datang serasa membelai tubuh mereka, perasaan lelah dan kantuk seakan datang tanpa di undang. " Kakang, apakah kau tidak pergi kebarak pasukan khusus ? tanya Sukra kepada Glagah Putih yang tampak memejamkan matanya. " Tidak Sukra, aku bersama mbokayumu Rara Wulan mendapat istirahat hari ini dan esok " jawab Glagah Putih " Kakang, apakah aku boleh bertanya sesuatu ? " tanya Sukra saat mereka beristirahat sambil menunggu Rara Wulan membawa kiriman. Kening Glagah putih tampak berkerut, jawabnya " Tentu boleh Sukra, asalkan jangan tanya tentang makanan yang dikirim oleh mbokayumu ". Sukra tertawa mendengar jawaban Glagah putih. " Ayo, tanya apa ? " desak Glagah putih. Sukra kaget dan tampak kebingungan. " He., kenapa kau ini, baru saja tertawa dan sekarang kebingungan " " Aku lupa kakang, aku benar – benar lupa, apa yang mau kutanyakan " jawab Sukra sambil berdiri menjauhi Glagah Putih. " Ohhh.. kucing kecil... kau mengangguku lagi ya " kata Glagah Putih dengan mata melotot dan siap mengejar Sukra. Mengetahui apa yang bakal terjadi terhadap dirinya, Sukra pun bergeser menjauh dan siap ambil langkah seribu kembali ke rumah ki Rangga dan berlindung di balik punggung Rara Wulan. " Oh. . kakang, bagaimana aku bisa hidup dengan leher terputar " kata Sukra seolah minta penjelasan. " Lagi pula Ki Rangga pasti marah padamu, sebab aku murid terkasih Ki Rangga ." Mendengar bualan Sukra, mau tak mau Glagah putih tersenyum dan duduk kembali di tanah, disandarkannya tubuhnya di tiang gubug iyupan itu. Tak lama kemudian datanglah Rara Wulan membawa kiriman makan siang mangut lele, ketiganya bersantap lahap. Tidak jauh dari pada mereka, dua pasang mata dengan tajamnya mengamati gerak gerik ke tiga orang keluarga Ki Rangga itu. " Mereka adalah keluarga Ki Rangga, mereka termasuk orang - orang yang harus mendapat pelajaran " gumam salah seorang itu dalam hatinya. " Bagaimana kakang, apa yang kita lakukan sekarang ?" tanya seseorang dengan ikat kepala hitam itu. Seseorang lagi dengan pakaian lurik tampak mengerutkan keningnya. Tidak segera dijawabnya pertanyaan adik seperguruannya itu. Di perhatikannya Glagah Putih sejenak, lalu katanya, " Kita datangi mereka dan kita sampaikan maksud guru kita," " Tetapi kakang, apakah kita tidak sebaiknya menunggu kehadiran guru, " sahut seorang yang memakai ikat kepala hitam. " Kapan guru datang ? " tanya seorang lagi " Tidak lama lagi, wayah sepi wong " jawab adik seperguruannya " Tangan ini sudah gatal, penghinaan Mataram terhadap perguruan – perguruan di daerah timur tidak bisa di maafkan, " gumamnya " Baiklah, kita menunggu kehadiran guru, supaya semuanya berjalan sesuai rencana, " lanjut orang yang berpakaian lurik itu. Tidak menunggu jawaban adik seperguruannya, orang berbaju lurik itu langsung bergeser dan segera meninggalkan tempat persembunyiannya, sementara itu orang dengan ikat kepala hitam itu mengikutinya dari belakang. Kepergian mereka ternyata tak luput dari perhatian Glagah Putih, tanpa sadarnya anak muda itu menarik nafas panjang. Kelezatan masakan Rara Wulan menjadi sedikit berkurang ketika mendengar Glagah Putih berbicara, " Wulan, apakah kau tadi pergi dari rumah ada seseorang yang mengikutimu ? " tanya Glagah putih memecahkan kesunyian. Serentak Rara Wulan dan Sukra memandang Glagah Putih. " Aku kurang mengamati keadaan ketika itu kakang " jawab Rara Wulan, " Apakah kakang telah melihat sesorang yang mengawasi kita ? " tanya Sukra cemas. Glagah putih menarik nafas sejenak, menganggukan kepala, lalu katanya, " Benar Sukra, aku melihat dua orang memperhatikan kita, tetapi sekarang sudah pergi " , berhenti sejenak, lalu, " Mungkin akulah yang terlalu berprasangka ." Bagi Rara Wulan dan Sukra tentu Glagah Putih tidak membual, mereka tahu betul siapa Glagah Putih itu. Mereka terdiam dan menunggu perkembangan keadaan. . Setelah menyelesaikan makan siang, segera Rara Wulan dan Sukra mengemasi peralatan yang mereka bawa, tak lama kemudian mereka mendengar ajakan Glagah putih. " Marilah kita pulang " ajak Glagah Putih kepada Rara Wulan dan Sukra memecah kesunyian, " Nanti kita beritahukan kepada Kakang Agung Sedayu, semoga tidak ada hal hal yang dapat mengganggu ketenangan di tanah ini ". Matahari bergerak tak terasa, Glagah putih, Rara Wlan dan Sukrapun telah sampai dirumah. Glagah Putih tahu baru menjelang sore Ki Rangga akan datang kembali kerumah, jadi mereka tidak tergesa – gesa berceritera, meskipun kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Di rumah Ki Rangga, dua orang perempuan berbeda usia tengah sibuk berbincang, " Rara, apakah kirimanmu tadi tidak mendapat celaan dari Sukra " tanya Sekar Mirah sambil berjalan menuju dapur, ruangan di mana Rara Wulan berdiri, tampak tangannya sibuk mengikat rambutnya yang panjang. Rara Wulan tersenyum mendengar pertanyaan mbokayunya Sekar Mirah, sembari jari lentiknya mengupas buah mentimun, lalu jawabnya, " Hari ini tidak ada celaan mbokayu, dia makan lahap sekali. " " Tentu dia makan lahap sekali, he.. bukankah mangut lele, tumis kangkung dan tempe garit itu makanan kesenangan Sukra " kata Sekar Mirah sembari tertawa. Rara Wulan tertawa, di pandanginya tubuh Sekar Mirah yang terlihat semakin gemuk. " Sehari ini Rara, badanku terasa panas dan pinggangku sedikit pegal " keluh Sekar Mirah. Mendengar keluhan itu, tampak Rara Wulan tersenyum didatanginya mbokayunya, sambil berkata," Tentu saja, semakin hari semakin besar perut mbokayu, tentu semakin berat ". . Tangan Rara Wulan memegang pinggang dan perut Sekar Mirah, lalu katanya, " Mbokayu, kata orang – orang tua, juga ibuku, bahwa orang hamil itu banyak sekali perubahan, tidak hanya tubuhnya tetapi juga bathinnya. Seringkali berkelakuan aneh dan sulit dipahami bahkan oleh suaminya sendiri." Sekar Mirah sebenarnyalah juga sudah terlalu sering mendengar nasehat orang tua perihal kehamilannya itu, kegelisahan selalu muncul seiring umur kandungannya itu, betapa tidak, usianya sudah tidak muda lagi dan ini merupakan kehamilan pertamanya. " Kurang dari dua purnama, aku akan melahirkan, aku akan minta kakang Sedayu untuk dirumah saja " gumamnya lirih. Rara Wulan melihat rasa cemas diwajah Sekar Mirah, katanya," Tidak usah cemas apalagi khawatir mbokayu, kami semua akan membantu dan menunggui mbokayu, dari awal hingga selesai, biarlah aku minta ijin khusus kepada Ki Rangga ", " Bukankah menurut mbokayu masih kurang dari dua purnama, bukan ? " Percakapan terus berlanjut, ke dua perempuan itu banyak membicarakan keperluan dan persiapan menyambut datangnya keturunan Ki Rangga Agung Sedayu. Hujan gerimis mengguyur Menoreh, Ki Rangga tengah memacu kudanya menuju rumahnya, ia tak ingin bajunya basah kuyub yang nantinya akan membuat Sekar Mirah sibuk. Seperti lelaki kebanyakan, Ki Rangga turun dari kudanya dan mengikatnya di tempat biasanya, sambil berjalan ke pintu ia mengucap salam. Dibukanya pintu perlahan dan segera dilihatnya Sekar Mirah dengan perut yang semakin besar tengah jalan kearahnya. " Bagaimana keadaanmu Mirah " tanya Ki Rangga sambil menuntun istrinya duduk di kursi berukiran Jepara yang merupakan pemberian Ki Patih Mandaraka. " Baik kakang, hanya pinggangku terasa pegal – pegal ", sahut Sekar Mirah, " Apakah dalam dua purnama kedepan kakang ada tugas dari Mataram atau tugas apapun dari siapapun " tanya Sekar Mirah dengan wajah memelas. Bergetar hati Agung Sedayu menghadapi pertanyaan istrinya, belum pernah sekalipun sepanjang usia perkawinannya ia mendapat pertanyaan seperti itu. Kebingungan sesaat hinggap di benaknya, dengan sabar di jawabnya, " Aku belum ada pemberitahuan sampai saat ini Mirah, semoga saja tidak ada tugas yang mendesak, Mataram sekarang ini mempunyai banyak sekali senopati yang mempunyai bekal yang tinggi dan tersebar dimana – mana " " Tetapi kakang, aku tahu bahwa Ki Patih Mandaraka sangat mengandalkan kakang dalam segala bidang tugas, bahkan Panembahan Hanyakrawati sangat percaya kepada kakang " desak Sekar Mirah. " Tenanglah Mirah, aku akan mendampingimu saat – saat kau perlukan, aku berjanji " kata Agung Sedayu sambil memegang tangan istrinya. Mendengar ucapan suaminya terasa hati Sekar Mirah seperti di guyur air padasan, tanpa sadarnya telah menitik air matanya. " Sudahlah, kita memohon kepada Sang Pencipta semoga kita diberi perlindungan dan kelancaran serta kesehatan untukmu dan bakal jabang bayi kita ", kata Agung Sedayu lirih ditelinga istrinya. Malam semakin larut terrdengar suara kentongan dengan nada dara muluk dari banjar padukuhan induk, Glagah Putih tampak duduk gelisah dibibir pembaringannya, kejadian siang tadi masih lekat diingatannya, " Aku akan keluar sebentar melihat Sukra dan Ki jayaraga, apakah mereka sudah selesai dengan latihannya ? " kata Glagah Putih kepada istrinya. " Silahkan kakang, kalau sudah selesai, cepatlah kembali " jawab istrinya manja. Terdengar pintu berderit, Glagah putihpun segera melangkahkan kakinya keluar , tidak langsung menuju sanggar tempat berlatih Sukra melainkan menuju pendapa, diedarkannya pandangannya berkeliling menatap halaman yang cukup luas seakan ada yang di carinya, sebentar kemudian langkahnya telah menuju regol. Berdiri di tengah halaman, di pandanginya pintu regol itu seolah olah belum pernah pintu itu dilihat sebelumnya, dahinya semakin berkerut, segera ia membalikan badannya, dipandanginya seluruh bangunan rumah kakak sepupunya, kerut di keningnya semakin dalam dan terasa hatinya berdebar takkala melihat pintu rumah pada bangunan induk itu. " Ada apa ini ? dadaku semakin berdebar – debar " katanya dalam hati. Tanpa sadar diayunkan langkahnya menuju sudut halaman dan dia berhenti dibawah pohon jambu air yang di tanam Sukra, di perhatikan juga sanggar tempat Ki Jayaraga menuntun Sukra tetapi sudah gelap, " Rupaya Ki Jayaraga telah selesai, " gumamnya. Beberapa saat dia berdiam diri, di cobanya mempertajam pendengarannya, tapi dia tidak menemukan sesuatu. Glagah Putih adalah anak muda yang sangat terlatih, sebagai murid Ki Jayaraga tentu dia tidak mengecewakan. Dengan sekali hentak tubuhnya telah meluncur dan hinggap didinding pembatas rumah. Dengan posisi jongkok dia memadang berkeliling sekitar rumah itu, sekali lagi dia tidak menemukan hal – hal yang mencurigakan. " Rupaya aku terlalu perasa " desisnya, Glagah Putihpun segera meluncur turun dan berjalan menuju pendapa. Belum beberapa langkah dia bergerak, tiba – tiba terasa sentuhan halus di pundaknya. Alangkan terkejutnya Glagah Putih, darahnya terasa tersirap, tubuhnya terlonjak dengan gerak naluriah ia melenting kedepan dan segera memutar badannya dengan kesiagaan sepenuhnya. " Kau belum tidur Glagah Putih ", terdengar kakak sepupunya berkata kepadanya sembari tertawa kecil. " Ah.. kakang mengejutkanku " desahnya. " Kau terkejut ? " tampak senyum menghiasi bibir kakak sepupunya. " Apa yang kau rasakan selain terkejut ? " " Aneh kakang, dadaku terasa berdebar – debar,sedangkan aku tidak melihat apapun atau sesuatu yang aneh " " Bersyukurlah, itu artinya pranggaitamu sudah semakin tajam Glagah Putih " terdengar suara lain dari arah sanggar dan betul saja, nampak Ki Jayaraga berjalan ke arah mereka berdua. " Selamat malam guru, " sapa Glagah Putih, Setelah menjawab salam, Kyai Jayaraga mengajak mereka berdua duduk di pendapa. Malam semakin larut, suara kentongan dengan nada dara muluk kembali terdengar. Tanah Perdikan Monoreh telah tertidur lelap, hanya para pengawal yang bertugas jaga saja yang tetap berada di gardu – gardu penjagaan, bahkan Sukra dalam tidurnya telah bermimpi indah, bertemu dengan sayur lodeh, urapan dengan ikan asin berserta sambal terasinya, ia mendekur dengan irama yang teratur. Udara malam yang dingin seakan bertambah dingin , udara malam telah membawa sesuatu yang menghempas kesadaran mereka, membuai dan menidurkan. " Sirep ini semakin kuat, " desis Ki Jayaraga Ki Rangga tersenyum, dan Glagah Putih terlihat wajahnya tampak kesal, di pendapa, mereka bertiga tengah duduk, seakan menunggu akan hadirnya sesuatu di tengah malam, semuanya diam. Malam semakin dalam, tiba – tiba Agung Sedayu mengangkat kepalanya, terlihat dia memandang pintu regol dan berkata, " Selamat malam ki sanak semuanya, silahkan masuk, tidak sepantasnya tengah malam berdiri didepan pintu ". Bersamaan pula Glagah Putih dan Ki Jayaragapun memandang ke arah pintu regol. Tak lama, dalam kegelapan malam beberapa bayangan meluncur bagikan terbang hinggap di dinding halaman, sesaat kemudian telah mendarat di halaman rumah Ki Rangga dan mereka bertiga telah melangkah menuju pendapa rumah. " Betapa sombongnya kau Ki Rangga " dengus seseorang yang tampaknya adalah pemimpin dari orang – orang itu. Di pendapa, Ki Rangga, Ki Jayaraga dan Glagah Putih sudah berdiri dan bersiap menyambut kadatangan orang – orang tak di kenal itu. " Silahkan naik ke pendapa ki sanak " kata Ki Rangga mempersilahkan tamunya. " Tidak perlu, kemarilah kau Ki Rangga ! " kata orang itu yang berdiri di tengah halaman sambil bertolak pinggang. Terdengar gemeretak gigi Glagah Putih, dia sudah tidak sabar lagi, seandainya kakak sepupunya tidak disampingnya, seandainya gurunya tidak disisinya maka tentu sudah di terjangnya orang itu. " Tamu tidak tahu diri " geramnya. Ki Jayaraga diam saja di biarkannya Ki Rangga berbicara. Terdengar Senopati Pasukan khusus Mataram itu tertawa perlahan dan segera turun ke halaman diikuti oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih. " Ada keperluan apa kisanak bertiga datang kemari ?" bertanya Ki Rangga. Tanpa menjawab pertanyaan Ki Rangga, orang tua yang bertubuh sedang dengan berewok yang telah memutih dan memakai baju berwarna hitam itu berkata " Aku adalah Bondan Ketapang dari Argopuro dan kedua orang di belakangku adalah muridku. " Ki Rangga masih tampak berdiam diri, pikirannya menerawang suatu tempat di bang wetan, sebuah gunung yang menjulang tinggi, tegak menancap kokoh sampai ke jantung bumi. " Baiklah, Ki Bondan Ketapang, selamat datang di rumahku, terus terang aku belum mengenalmu, sebaiknya kau katakan keperluanmu datang kemari " kata Ki Rangga kalem. " Guru terlalu banyak membuang waktu, kita tantang saja mereka dan merekapun harus menerimanya " kata orang berbaju lurik yang ternyata bernama Singa Patrap, sahabat dari Ki Kebo lungit dari Madiun. Mendengar perkataan itu, dada Glagah putih serasa pecah, tentu kedua murid Ki Bondang Ketapang itu yang tadi siang mengamatinya. " Baik, aku terima tantanganmu " sahut Glagah Putih sambil maju kedepan, dadanya bagaikan pecah menahan amarah, " Mau disini atau dimana, tentukan tempatnya, aku muak melihat kesombongan kalian " Ki Jayaraga dan Ki Rangga menarik nafas dalam – dalam menyaksikan tingkah laku Glagah Putih. " Bersabarlah, tidak baik engkau marah – marah terhadap tamu kita Glagah Putih, " kata Ki Jayaraga yang sedari tadi berdiam diri. " Maaf guru, kelakuan dan kesombongan mereka telah melapaui batas, akulah yang akan membungkam mulut mereka, " kata – kata Glagah Putih meluncur bagai anak panah, melesat tanpa dapat di tahan. " Setan kecil, kau belum tahu siap kami " geram Singa Patrap. Nafas Glagah Putih terasa memburu, katanya," Cepat katakan apa maumu, atau aku akan mengusirmu, " Nampak Singa Patrap bergerak dan akan menjawab, tetapi gurunya telah mendahuluinya. " Aku hargai keberaniamu anak muda, karena kau belum mengenal kami, tetapi setelah kau tahu tentang kami, kau tentu akan menyesal, kami tidak pernah memberi ampun kepada lawan – lawan kami." Ki Rangga yang tengah berdiam diri itu, tiba – tiba menguap, sambil berkata, " Maaf Ki Bondan Ketapang, aku sudah mengantuk, waktu tidurku sudah lewat, cepat katakan apa maumu atau aku akan pergi tidur. " " Bedebah, setan thethekan," umpat Singa Patrap. " Ternyata kau sombong sekali Ki Rangga, baiklah, aku datang kemari dari Argopura untuk menuntut balas atas kematian adikku Kebo Samparan yang kau bunuh secara licik di lereng gunung Wilis." Jelas sudah bagi penghuni rumah itu bahwa kedatangan ketiga orang itu tidak bermaksud baik, bahkan mereka akan melakukan balas dendam. Ki Rangga mengerutkan keningnya, di ingatnya perjalanan ke timur beberapa waktu lalu bersama Pangeran Pringgoloyo yang diiringi sepasukan kecil Mataram. Beberapa persoalan dapat diselesaikan dengan baik tanpa benturan kekerasan, beberapa Adipati di daerah timur menerima dan mengerti pesan Panembahan Hanyakrawati, tetapi dalam perjalanan pulang rintangan demi rintangan telah menggangu utusan Mataram itu, salah satunya adalah datang dari perguruan Wilis yang di pimpin oleh Ki Kebo Samparan. Ternyata kematian Kebo Samparan telah membawa Ki Bodan Ketapang datang ke Menoreh dan menemuinya. Lamunannya terhenti ketika mendengar tamunya, berkata, " Tetapi aku masih berbaik hati Ki Rangga, aku akan menantangmu perang tanding, dua malam mendatang saat purnama naik, aku menunggumu di gumuk kembar, jika kau tidak datang maka aku akan membakar seluruh tanah Menoreh ini dari ujung sampai keujung. " Keringat dingin telah mengalir di punggungnya, balas dendam, sakit hati dan segala persoalan kekerasan selalu mengikutinya kemana saja dia pergi, nalarnya selalu mengatakan bahwa ini adalah akibat dari pengabdiannya terhadap sesama, terkadang hatinya menentang tetapi disisi lain keinginannya untuk berbuat baik terhadap sesamanya tak bisa dicegah dan bahkan sudah menjadi pedoman hidupnya. Ki Rangga tetap dapat menguasai dirinya betapun darahnya bergejolak hebat, di perhatikannya Ki Jayaraga dan Glagah Putih, sambil menarik nafas dalam – dalam, lalu katanya, " Baiklah Ki Bondan Ketapang, aku terima tantanganmu, dua malam mendatang, malam saat purnama naik aku akan datang. " " Bagus, ternyata kau berhati jantan Ki Rangga " kata Ki Bondan Ketapang sambil membelai janggutnya yang telah memutih. " Tidak usah memuji ki, " sahut Ki Rangga. Tiba – tiba salah satu murid perguruan Argopuro itu melangkah maju. " He.. Ki Rangga, apakah kau mempunyai ilmu kebal " tanya orang disebelah Singa patrap yang ternyata bernama Jalak Werdi. " Ketahuilah Ki Rangga, guru kami Ki Bondan Ketapang adalah murid terkasih dari pertapa Kumitir, di alas Kumitir. Kamilah pewaris sejati, ilmu dari seluruh ilmu kebal yang ada di muka bumi ini." Terdengar gemeretak gigi Glagah Putih, terlihat Ki Jayaraga mulai gelisah mendengar igauan itu. " Singa Patrap, majulah dan tunjukanlah salah satu ilmu kebanggaan perguruan kita " Kata Ki Bondan Ketapang kepada muridnya, rupanya orang dari Argopura itu ingin mempengaruhi tekat dan kemantabahn hati penghuni rumah itu. Mendengar permintaan gurunya dengan menengadahkan dadanya Singa Patrap maju satu langkah, segera di persiapkan dirinya, di bangkitkannya salah satu andalan ilmunya, segera terlihat tubuhnya seperti membara, warna merah seolah telah menyelimuti tubuhnya. " Itulah puncak dari segala ilmu kebal yang ada di muka bumi ini Ki Rangga, tubuh kami tidak akan tembus oleh senjata apapun. " kata Ki Bondan Ketapang dengan bangganya, dan lanjutnya " Itu hanya salah satu ilmu dari sekian ilmu yang kami miliki. " Melihat pameran kekuatan itu, Ki Rangga diam saja, Glagah Putih akan bergerak, tetapi Ki Jayaraga cepat menggamitnya, seraya berucap,. " Kyai sebaiknya segeralah pergi, saat purnama naik kyai akan bertemu dengan Ki Rangga dan pamerkan semua ilmu yang kyai punya " kata Ki Jayaraga yang hatinya mulai tergelitik. Sementara itu, sembari mengetrapkan puncak ilmu kebalnya, terdengar Singa Patrap tertawa terbahak – bahak, katanya " Aku tidak akan bergerak atau melawan, cobalah sentuhlah aku, apapun yang kau lakukan tidak akan mampu mengoyak ilmuku. ". " Nah, Ki Rangga jika muridku saja mampu berbuat seperti itu, tentu kau dapat membayangkan, apa yang kira – kira aku lakukan " jelas Ki Bondan Ketapang dengan nada mengejek. Darah Glagah Putih telah menggelegak sampai ke ubun – ubunnya, darah mudanya telah terbakar, dia yang diam telah beringsut kesamping, sudah dari tadi mempersiapkan diri dan akan segera bertindak. " Tunggu Glagah Putih " cegah kakaknya. " Apakah kau sudah mencapai puncak dari ilmu kebalmu Singa Patrap ? " tanya Ki Rangga Agung Sedayu. Kembali terdengar Singa Patrap tertawa semakin keras, " Kasihan kau ki Rangga, dalam puncak ilmuku kau tidak bisa menyentuhku, bagaimana kau akan melawan melawan guruku " katanya. Udara di halaman itu terasa semakin panas, tampak Ki Rangga mundur beberapa langkah. " Aku peringatkan kau Singa Patrap, jangan membuat kotor halaman rumahku " terdengar suara Ki Rangga bergetar. " Lalu apa maumu, seranglah aku ! " tantang Singa Patrap. Udara malam yang dingin telah terasa panas menyengat kulit penghuni rumah itu. Merasa dapat mempengaruhi ketabahan hati Ki Rangga, apalagi setelah melihat musuh gurunya itu mundur beberapa langkah, maka matanya menjadi nanar dan pikiran kotornya telah muncul. " Istrimu akan menangis dan meratapi tubuhmu Ki Rangga, kematianmu akan membuatnya menderita dan dia akan menjadi janda seumur hidupnya dan kemudian aku akan datang kepadanya " kata Singa Patrap sambil tertawa terbahak – bahak. " Singa Patrap, hentikan atau aku akan menghentikanmu, " suara ki Rangga benar – benar berubah. " Aku akan membakar rumahmu, sekaligus membawa istrimu Ki Rangga " katanya lantang. Ki Rangga akan diam saja betapapun dirinya di hina dan dicaci maki, merendahkan martabatnya sebagai manusia tidak menjadikan persoalan besar bagi dirinya, tetapi kini seseorang telah menghina istrinya, seseorang yang sangat di cintainya, seorang wanita yang tengah mengandung jabang bayi keturunannya, terasa dadanya menggelepar hebat, deburan ombak pantai selatan telah menghantam keningnya, mata Ki Rangga yang semula jernih tiba – tiba menjadi buram, senyumnya telah hilang di saput kelamnya malam, bulan yang telah menerangi Tanah Perdikan Menoreh seolah telah hilang di telan mega, hitam pekat dan gelap gulita. " Akulah yang akan menggantikan kedudukanmu Ki Rangga, menjadi suami yang baik bagi bekas istrimu " masih terdengar suara Singa Patrap diiringi derai tawa yang menyeramkan. " Hem ... " desah Ki Rangga Ki Jayaraga mengatubkan bibirnya rapat – rapat mendengar kata – kata yang sangat keterlaluan itu, penghinaan yang tak dapat di terimanya, di lihatnya wajah Ki Rangga benar – benar memerah, tiba – tiba kecemasan melintas di benaknya, apa jadinya jika seorang Rangga Agung Sedayu Senopati Pasukan Khusus itu benar – benar marah, sementara Glagah putih justru berdiri mematung, matanya tanpa berkedib memandang wajah kakak sepupunya, hatinya berdebar - debar. " Apa katamu, he ! orang dungu, akulah Singa Patrap yang akan menggulung Menoreh dan segera membawa istrimu, " Tiba – tiba saja secepat tatit di langit, terlihat Ki Rangga meloncat, tubuhnya bagaikan mengapung diudara dan segera turun dengan derasnya, sambil menjulurkan tangannya menggapai dada Singa Patrap yang berdiri tegak dalam pengetrapan puncak ilmu kebalnya. Bumi Menoreh terasa di guncang gempa, jeritan melengking membelah malam, menggetarkan setiap hati yang mendengarkannya. Sebuah pukulan seseorang yang telah kehilangan kesabarannya, seseorang yang telah kehilangan pengamatan terhadap dirinya karena kemarahan yang memuncak, seseorang yang sudah wuru kawringuten, merendahkan martabat perempuan serta penghinaan terhadap istrinya benar – benar membuatnya lupa, akibatnya dada Singa Patrap terasa terguncang hebat, terasa tertimpa batu sebesar gunung anakan, seakan lahar merapi telah menyiram tubuhnya, darahnya terasa membeku semua urat syarafnya terasa kejang, darahnya berhenti mengalir, dan seketika tubuhnya terpelanting menabrak pintu regol, terlempar keluar terseret arus yang tidak terlawan dan terbanting jatuh berguling – guling di tanah dan berhenti setelah menabrak pohon keluwih, tidak ada suara rintihan, ternyata sukma Singa Patrap telah melayang meninggalkan raganya dan melayang kembali ke Argopuro. Tampaklah Ki Rangga menggeram marah, bagai singa lapar yang telah lama tak menemukan mangsanya, matanya sudah memerah, segera di balikan tubuhnya mengahadap Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi. Sementara itu KI Jayaraga dan Glagah Putih dengan mulut ternganga menyaksikan semuanya itu, pertunjukan yang baru saja disaksikan betul – betul di luar nalar mereka berdua, tanpa persiapan dan ancang – ancang , hanya dengan tangan kosong ternyata Ki Rangga telah menumpakan amarahnya, terlihat saat itu tangan Ki Rangga memutih seolah di balut oleh serat kapas halus nan dingin, telah masuk menyentak serta menembus lapisan api di sekitar tubuh Singa Patrap selanjutnya menyentuh bagian dada, serta mengguncangnya tiada henti. Sebuah pertunjukan ilmu yang belum pernah di saksikan oleh Ki Jayaraga ataupun Glagah Putih, kedahsyatannya seakan akan melebihi ajian Rog – rog asem. Di pihak lain Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi tampak membeku, menyaksikan semua itu, terlalu cepat bagi mereka, benar – benar di luar dugaan, harapannya untuk menjatuhkan tekat Ki Rangga benar – benar musnah, bahkan terlihat jelas lutut Jalak Werdi gemetaran dan wajahnya terlihat pucat pasi takkala Ki Rangga menghampirinya. " Aku tidak akan menunggu Ki Bondan, aku akan menantangmu sekarang, senang atau tidak senang, kalian semua telah menghinakan keluargaku " geram Ki Rangga. Suasana sangat mencekam, tidak ada yang bergerak, semua membisu. Mendengar suara Ki Rangga itu, kegelisahan telah hinggap di hatinya, hampir saja Ki Bondan Ketapang kehilangan perhitungannya dan menerima tantangan itu, pikiran dan akal liciknya segera bekerja untuk mengeluarkannya dari kesulitan. " Tidak Ki Rangga, aku tetap pada pendirianku, datanglah dua malam mendatang saat purnama naik, aku akan menunggumu, perjanjian jantan telah kita sepakati dan kau sebagai kesatria harus menepatinya " jawab Ki Bondan Ketapang. Ternyata keributan di halaman depan itu telah membangunkan penghuni rumah Ki Rangga yang tidak jauh dari kediaman Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu, terdengar gerit pintu rumah induk, terlihat Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berdiri di muka pintu. " Kakang apa sebenarnya yang telah terjadi ? " terdengar suara Sekar Mirah. Mendengar ucapan istrinya Ki Rangga tidak menoleh sedikitpun, bahkan katanya, " Masuklah Mirah, aku akan menyelesaikan tamu tak di undang ini ". Ternyata Ki Jayaraga cepat menanggapi keadaan yang cukup gawat ini, dengan sekali loncat orang tua itu telah berdiri di depan Sekar Mirah, kakinya merenggang dengan kedua tangan tangan menyilang dan menempel didadanya, siap melontarkan ajiannya, apabila di perlukan, Aji Sigar Bumi. Sementara itu Glagah Putih telah menyiapkan ajian Namaskara sampai ke puncaknya, dengan wajah tegang ditatapnya Ki Bondan Ketapang dan Jalak Werdi. " Sekar Mirah, untuk saat ini janganlah bertanya sesuatu kepada Ki Rangga " perlahan terdengar suara Ki Jayaraga. Sebagai seorang perempuan yang juga memiliki ilmu olah kanuragan yang mumpuni, ia segera menyiapkan dirinya, Rara Wulan yang berdiri disebelahnya, segera mengingatkan tentang keadaan tubuh mbokayunya, katanya, " Mbokayu marilah masuk, mbokayu sedang mengandung, tentu tidak baik bagi jabang bayi, jika mbokayu memaksakan diri, " Mendengar ucapan Rara Wulan, tersadarlah Sekar Mirah dan segera di pegangi perutnya, " Oh.. " wajahnya menegang. Tanpa beranjak dari tempatnya, Sekar Mirah memandang kehalaman seolah memastikan keadaan suaminya. " Nah, Ki Rangga yang perkasa, mungkin malam ini aku akan mati, kalian akan menyerangku dari berbagai penjuru, tetapi ingat Ki Rangga, menjelang kematianku, aku akan menyeret Sekar Mirah mati bersamaku dan kau akan kehilangan jabang bayi calon keturunanmu. " Ki Rangga terdiam, angin malam membelai jantungnya, hatinya mulai mencair, kemarahannya mulai menguap terbawa angin, wajahnya yang tegang telah mulai berubah. " Pilihlah " terdengar kata Ki Bondang Ketapang sambil matanya melirik Jalak Werdi seraya memberi isyarat khusus. Kebimbangan telah merambah ke dalam pikirannya, diliriknya dengan sudut matanya keberadaan Sekar Mirah di belakang Ki Jayaraga, terpikir oleh Ki Rangga atas keselamatan Sekar Mirah, maka kemudian katanya, " Baiklah ki Bondan, aku terima penawaranmu, tetap pada perjanjian kita, dua malam mendatang, saat purnama naik ." Tak banyak bicara Ki Bondang Ketapang segera melangkah surut dan segera di ikuti Jalak Werdi. " Ki Rangga, apakah kau berkepentingan terhadap tubuh Singa Patrap, " tanya Ki Bondan saat mau meninggalkan halaman. " Tidak ki, silahkan membawanya dan makamkan sebagaimana mestinya " jawab Ki Rangga. Tanpa mengucap terima kasih, guru murid itu telah berjalan kearah tubuh Singa Patrap yang tergolek di dekat pohon keluwih itu, tampak Jalak Werdi mengangkat dan mendukung tubuh kakak seperguruannya itu dan mereka segera hilang di telan gelapnya malam. " Kakang, kenapa kau lepaskan mereka ? " tanya Sekar Mirah dengan nada cemas. Agung Sedayu tidak segera menjawab, didatanginya istrinya, sambil berkata," Mirah, keselamatanmu lebih penting dari pada menangkap orang itu. " Sekar Mirah termenung mendengar jawaban suaminya, baginya menangkap orang itu sekarang tentu lebih mudah sebab saat ini berkumpul orang – orang yang berilmu tinggi yang dapat membantu suaminya bila diperlukan, dan selanjutnya tidak akan ada yang mengganggu keluarganya lagi. Sementara itu Glagah Putih juga di hinggapi rasa kecewa karena kakak sepupunya telah melepas guru dan murid dari Argopuro itu. Berbeda dengan semua orang yang ada di halaman itu, Ki Jayaraga memahami sepenuhnya alasan Ki Rangga yang telah melepas musuhnya. Hari itu seperti biasa Ki Rangga telah pergi ke barak Pasukan Khusus, sementara Glagah Putih dan Sukra tidak pergi ke sawah, bahkan Ki Jayaraga tampak hanya duduk bersila saja di pendapa, Rara Wulan selalu menemani Sekar Mirah. Saat wayah temawon, tempak seseorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis yang telah memutih tengah berjalan memasuki halaman rumah Ki Rangga diiringi oleh Prastawa. " Selamat datang Ki Gede," sapa Ki Jayaraga seraya dengan cepat berdiri dan menghampiri pemimpin Menoreh itu. Setelah mereka duduk di pendapa dan menanyakan keselamatan masing - masing, barulah ki Jayaraga bercerita kejadian tadi malam di halaman rimah itu. Penghinaan yang melampaui batas terhadap keluarga Ki Rangga dan ancaman terhadap Sekar Mirahlah yang membuat Ki Rangga kehilangan pengamatan diri. Mendengar cerita Ki Jayaraga itu, Ki Gede Menoreh menganggukan kepalanya, ia sangat memahami kecemasan seorang Agung Sedayu terhadap keselamatan istrinya yang tengah mengandung, sebuah penantian yang cukup lama bahkan tidak lama lagi akan lahir ke dunia. Tanpa sadar orang tua itu memandang ke arah regol, barulah disadarinya bahwa saatnya masuk ke rumah Ki Rangga, dia tidak melihat adanya pintu regol itu, ditariknya nafasnya dalam - dalam. Sementara itu Prastawa tidak melihat sesuatu yang rusak di halaman itu selain pintu regol, baginya tidak melihat bekas pertempuran dan itu sangat aneh menurutnya, sejenak di pandanginya Ki jayaraga yang nampak menundukkan kepalanya. Nampak Ki Jayaraga termenung dengan kepala tertunduk, di ingatnya perkataan Ki Rangga semalam saat mereka duduk di pendapa, menghabiskan sisa malam, bahwa ilmu Kebal Singa Patrap adalah sejenis dengan ilmu kebal yang dimilikinya bahkan menilik ujudnya, Ki Rangga sangat yakin bahwa Ilmu kebal Singa Patrap melebihi ilmu kebal yang di milikinya, sehingga saat itu di cegahnya Glagah Putih untuk bertindak. tentu akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih bila membenturkan ilmunya, meskipun itu ajian Namaskara sekalipun, kemungkinan gagal akan selalu ada dan Ki Rangga tidak ingin melihat Glagah Putih mengalami cidera. " Kenapa Ki Jayaraga tidak memberi tahu kami, maksudku dengan memukul kentongan. " tanya Ki Gede menggugah Ki Jayaraga. " Tidak terpikir Ki Gede, semua berlangsung cepat, " Tampak Ki Gede mengangguk-anggukan kepalanya, di bayangkannya pertempuran yang berlangsung cepat antara Ki Rangga dengan lawannya. " Sekali sentuh Ki ? " Tanya Prastawa menyakinkan, " Benar angger, " jawab Ki Jayaraga pelan, dingatnya kembali saat Ki Rangga menyerang Singa Patrap. Bahkan terngiang di telinganya, penjelasan Ki Rangga tentang ilmunya. " Bukan ilmu baru Ki Jayaraga, aku hanya mengembangkan ilmu kabut yang diwariskan oleh guru, kabut yang telah aku padatkan dan seluruh kekuatan ilmu itu aku pusatkan hanya pada tanganku, kabut yang mengandung air dan mempunyai sifat dingin, aku hanya mendorongnya dengan tenaga cadangan saja. " " Luar biasa " gumam Ki Jayarga lirih seolah keluar tanpa sadarnya. Prastawa mengerutkan keningnya, entah apa yang terlintas di benaknya. " Apakah Singa Patrap itu tidak mempunyai kemampuan ? " Prastawa meyakinkan pendengarannya. Ki Jayaraga terdiam, tentu saja dia tidak bisa menjelaskan secara terperinci kepada kemenakan Ki Gede itu. " Prastawa, apakah yang kau pikirkan ? Nama Ki Rangga sudah di kenal hampir oleh seluruh rakyat di bumi Mataram ini, bagaimana mungkin seseorang tanpa ilmu datang kemari dan menantang Ki Rangga untuk berperang tanding ? " kata – kata Ki Gede telah meluncur dan terasa menampar pipi Prastawa itu. Dari ruangan dalam telinga Glagah Putih terasa memerah mendengar perkataan Prastawa itu, namun dibiarkan saja, lebih baik baginya tidak usah keluar, perasaan segan menemui keponakan Ki Gede telah muncul di hatinya. " Bagamana selanjutnya Ki Jayaraga ? Apakah perang tanding di Gumuk Kembar itu akan tetap berlangsung ? " tanya Ki Gede. " Benar Ki Gede, Ki Rangga telah menyanggupinya ," " Siapa yang akan menemani Ki Rangga ke Gumuk Kembar itu nantinya ? " " Ki Gede, telah di buat keputusan oleh Ki Rangga semalam bahwa aku yang tua ini bersama Glagah Putihlah yang akan mendampinginya, " jelas Ki Jayaraga. Ki Gede terdiam, keningnya berkerut dalam, katanya " Apakah cukup Ki Jayaraga ? Bagaimana kalau terjadi kecurangan, semisal mereka membawa orang lain dengan jumlah berlipat. " Ki Jayaraga mengerti maksud perkataan Ki Gede itu, tetapi menurut Ki Rangga sebaiknya Ki Gede tidak perlu dilibatkan karena mengingat usia dan kesehatannya terutama cacad kakinya. Ki Jayaraga tidak ingin mengatakan alasan sebenarnya, kematangan usianya telah menuntunnya, dengan bijaksana di katakannya, " Ki Gede, biarlah nanti sepulang dari barak, Ki Rangga akan menghadap Ki Gede dan menjelaskan apa saja rencananya menghadapi perang tanding itu. " Dengan menghela nafas dalam - dalam Pemimpin Menoreh itu berkata," Ki Jayaraga, meskipun aku tidak sekuat dulu tetapi aku masih sanggup menggerakan tumbak pusaka Menoreh, aku akan datang menyaksikan perang tanding itu ." Tampak Ki Jayaraga tersenyum, baginya Ki Gede adalah seorang pemimpin yang patut di banggakannya, seorang yang berjiwa besar dan tegas serta mengayomi rakyatnya. Wajah Prastawa tampak menegang, baginya melihat dan menjadi saksi perang tanding itu hanya akan membunuh diri sendiri maka dari itu lebih baik ia diam dan tak menyatakan pendapatnya. Kunjungan Ki Gede kerumah Ki Rangga menjadi semakin hangat takkala Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah putih keluar ruangan dan menemui pemimpin Menoreh itu. Sementara itu di barak pasukan khusus, Ki Rangga telah mengirim utusan khusus menemui Ki Patih Mandaraka untuk memberi tahu dan menyampaikan rencananya berkaitan dengan perang tanding di Gumuk Kembar esok malam. Utusan itu telah kembali dari Kepatihan Mataram pada malam hari, segera utusan itu pergi ke rumah Ki Gede Menoreh setelah mendapat pemberitahuan dari Sekar Mirah. Semua mendengarkan utusan itu menyampaikan pesan Ki Patih dengan saksama. " Syukurlah, Ki Patih memberi perhatian atas peristiwa yang akan terjadi besok malam itu, " kata Ki Gede. KI Rangga tampak menghela nafas dalam – dalam. Ketegangan telah merambat di setiap hati orang Menoreh, hampir semua orang di padukuhan induk dan padukuhan lainnya serta di pasarpun membicarakan peristawa yang terjadi di rumah Ki Rangga. Berduyun – duyun mereka datang dan melihat pintu regol yang telah rusak dan belum sempat di perbaiki itu. " Agung Sedayu itu orang linuwih " kata seorang yang berdiri tidak jauh dari regol itu kepada temannya. " Kemampuannya sulit di jajagi, bahkan kata orang – orang yang pernah pergi berperang bersama Ki Rangga itu, selalu mengatakan bahwa Ki Rangga itu bisa menghilang " lanjutnya. Teman yang diajak bicara itu mengangguk – anggukan kepalanya. " Aku sebenarnya akan di angkat menjadi muridnya, tetapi di larang oleh Ki Gede sebab umurku sudah terlalu tua " gumamnya perlahan. " Gurunya Ki Rangga itu adalah sahabat ayahku, mereka membantu Ki Gede mendirikan Tanah Perdikan ini, " Orang itu terus bercerita panjang lebar tentang kehebatan seorang Agung Sedayu dan gurunya serta ayahnya. " Apakah kau mengerti Duma ? " tanyanya kepada kawannya yang berdiri di belakangnya. Tidak mendapat jawaban, segera ia menoleh kebelakang, alangkah terkejutnya dan darahnya segera memanas, matanya melotot seakan mau loncat dari kelopaknya, ternyata si Duma kawannya itu telah hilang entah kemana, segera orang itu bergegas pergi sambil menggerutu, " Awas kau ! duyung mabuk ! " Oleh Ki Jagabaya Amalindo Bumbung 6 Kedua orang dari Kademangan Cangkringan itu terdiam, kepalanya telah tertunduk, tubuhnya telah merasakan perasaan sakit yang teramat sangat, seolah sendi - sendi pada tangan kanan mereka telah terlepas, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi kecuali menunggu belas kasihan seorang yang bernama Rudita. “Apakah kita pernah bertemu sebelum ini, ki sanak ?” Tanya Rudita perlahan Kedua orang itu tidak menjawab, wajahnya masih menatap tanah, penyesalan dan rasa takut telah membelit jantungnya. Melihat kedua orang Cangkringanitu tidak berdaya lagi maka serentak orang - orang dalam kedai itu telah keluar dan Nyi Sarmini telah berdiri di paling depan, tangan perempuan itu terlihat bergerak - gerak seakan hendak meremas kedua wajah yang menunduk itu, mulutnyapun terlihat komat - kamit menggerutu. “Bagaimana, apa yang kisanak harapkan dariku ?” Suara Rudita masih terdengar sareh,” Apakah kisanak memerlukan uang ?” Tangan Ruditapun yang telah menggenggam uang itu segera terjulur. “Mohon ampun Ki sanak, aku tidak memerlukan uang itu lagi” kata Suro Bledek perlahan, suaranya terdengar kaku. “Lalu apa yang kisanak kehendaki ?” “Ampunilah kami kisanak” ucap Suro Bledek memohon. Terdengar Nyi sarmini menggeram pelan mendengar permintaan Suro Bledek itu, kening pemilik warung itu tampak berkerut tanpa sengaja telah memperhatikan wajah orang yang bernama Rudita itu, sangat jelas terlihat wajah itu tidak rusak setelah terkena pukulan kedua orang Cangkringan itu, wajah yang tetap tersenyum, sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit sedikitpun, tubuh orang itu nampak segar seperti saat orang itu datang pertama kali ke kedainya. Semua orang yang tengah berdiri di belakang Rudita itu nampak keheranan melihat sikap orang yang berbaju lurik itu, tangan mereka terasa gatal untuk segera menyentuh keduanya. “Kenapa orang itu begitu sabar ?” gumam orang bertubuh kurus pelanggan kedai Nyi Sarmini kepada orang yang tengah berdiri disebelahnya. “Kenapa orang yang bernama Rudita tidak menghukum kedua orang yang telah mencoba mencelakainya itu ?” Sebuah pertanyaan telah membelit di dada Nyi Sarmini. Mereka semua membeku seolah menunggu dan melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang bernama Rudita itu. Dalam kebekuan itu telah terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari mendekat, serentak semua mata telah memandang ke arah datangnya kuda - kuda itu. Tak lama kemudian rombongan orang berkuda itu telah berhenti di muka kedai Nyi Sarmini, Swandaru yang berada di paling depan segera meloncat turun dari kudanya dan telah diikuti dengan yang lainnya,” Ada apa ini, ?” Tanya Swandaru. Nyi Sarmini lah yang telah menjawab pertanyaan itu, kakinya telah melangkah kedepan, “Selamat datang Ki Swandaru” ucapnya, rupanya pemilik warung itu telah mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu. “Ada apa Nyai, apakah seseorang telah membuat keributan di kedaimu ?” Swandaru telah berjalan lebih mendekat, dan katanya” Apakah kau telah membuat keributan disini ki sanak ? Kalau kau yang membuat keributan maka aku akan menghentikanmu, apakah kau belum pernah mendengar nama Swandaru Geni ?” Nampak orang yang berbaju lurik itu tidak menjawab, wajahnya telah menunduk, seolah sedang menghitung jari kakinya. “Bukan dia Ki Swandaru, tetapi kedua orang yang sedang duduk di tanah itu” Jelas Nyi Sarmini. Segera Swandaru menatap kedua orang itu, lalu katanya,” Aku tidak ingin melihat kesombongan terjadi disini di kedai ini.” Dalam pada itu kening Ki Jayaraga tampak berkerut, diamatinya orang berbaju lurik yang tengah menundukkan wajahnya itu, seakan orang tua itu telah mengenal sebelumnya. Sementara Pandan Wangi yang berdiri di belakang Ki Jayaraga telah menyibak dan berjalan kearah orang yang berbaju lurik itu, tanpa ragu telah di pegangnya tangan yang membeku itu,” He ! Apakah kalian tidak mengenal Rudita lagi, putra Ki Waskita ?” katanya lantang. Suara itu bak guntur di siang hari, menggelegar di telinga Swandaru, bahkan Ki Jayaraga dan Sukra telah terperanjat mendengarkan suara Pandan Wangi itu. “Rudita, sudahlah jangan bermain - main lagi” terdengar suara lembut Pandan Wangi. Orang berbaju lurik itupun telah mengangkat wajahnya, perasaan malu dan bersalah telah berdesakan di dalam rongga dadanya, katanya,” Maafkan Aku Pandan Wangi, kakang Swandaru, Ki Jayaraga dan kau Sukra, sama sekali bukan maksudku menunjukan kesombongan di hadapan kalian semuanya, aku telah benar - benar menyesal berbuat seperti ini,” Rudita benar - benar telah menyesal, sama sekali tidak terlintas di benaknya untuk memamerkan ilmu kebalnya, apalagi dihadapan mereka yang memang mendalami ilmu kanuragan, dia hanya ingin melindungi dirinya, dia tidak ingin membuat persoalan apalagi menyakiti siapapun, tetapi sisi lain di relung hatinya telah mengatakan bahwa dengan mempelajari ilmu kebal itu maka dia telah mulai melangkah mencurigai dan memusuhi sesamanya. Berdiri seperti patung, tak sepatah katapun terucap dari mulut Swandaru itu, Rudita baginya adalah seorang yang sangat aneh hampir sama seperti kakak seperguruannya, sikapnya sulit untuk dipahaminya. Meskipun sudah berumur baginya Rudita adalah tetap seorang yang cengeng dan seorang yang tidak berani melihat kenyataan hidup. Ki Jayaraga tengah menarik dafas dalam - dalam, dia telah mengenal anak Ki Waskita itu, meskipun sudah lama tidak bertemu, orang tua itupun telah mengenal wataknya, maka katanya” Angger Rudita, apakah yang telah terjadi ? Angger tidak usah berkecil hati seolah kami mengatakan angger sebagai orang yang berpaling dari keyakinan yang telah angger yakini itu, tidak ngger, kami justru memujimu, kamilah orang - orang yang justru telah memelihara kecurigaan itu dalam hati kami dengan dalih waspada, suatu saat akupun ingin menjadi sepertimu, punyai hati damai dan tidak punya rasa curiga” Orang - orang yang berkumpul di kedai itu benar - benar tidak mengerti akan sikap orang yang ternyata bernama Rudita itu. “Aku menyerahkan semua persolan ini kepada Ki Jayaraga, kedatanganku di Jati Anom ini adalah sekedar lewat sebenarnya aku ingin pergi Ke Sangkal Putung untuk menemui Nyi Pandan Wangi” terdengar suara Rudita bergetar, seolah ia ingin menjelaskan persoalan yang sebenarnya. “Tetapi sebelumnya aku mohon kalian semua memaafkan kedua orang itu, biarlah mereka pergi, mereka tidak akan berbuat jahat lagi” terdengar permintaan Rudita. Swandaru telah membisu pandangan matanya telah beralih memandang pepohonan di sekitar kedai itu, Sukra nampak menggeleng - gelengkan kepalanya sedangkan Pandan Wangi telah tersenyum dan Ki Jayaraga telah menarik nafas dalam - dalam, katanya,” Baiklah angger Rudita, kami akan melepas keduanya, tanpa syarat apapun, biarlah mereka pergi, kemanapun yang mereka inginkan,” Kepada Swandaru orang tua itupun mengatakan,” Silahkan angger semua masuk ke dalam kedai, bukankah kita memang mau makan, biarlah aku mengurus kedua orang ini, baru kemudian aku akan menyusul” Ki Jayaraga tetap berdiri ditempatnya, dipandanginya orang - orang yang yang tengah berkumpul itu,” Silahkan ki sanak membubarkan diri dan lupakan peristiwa ini.” Swandaru yang mendengar permintaan Ki Jayaraga tanpa menunggu lebih lama kakinyapun segera melangkah masuk ke dalam kedai itu dan segera dipesannya beberapa pincuk makanan kesukaannya, Pandan Wangi, Rudita dan Sukrapun telah mengikutinya. Terlihat Nyi Sarmini dengan cekatan telah melayani tamu - tamunya. Sore hari itu Kademangan Sangkal Putung, benar - benar menampakan wajah yang sumringah, betapa tidak kehadiran Swandaru benar - benar telah menggembirakan rakyat kademangan yang subur makmur itu, mendengar kedatangan Swandaru hampir semua bebahu kademangan telah berkumpul di pendapa rumah yang besar itu, orang - orang itu menanyakan apa saja yang terlintas di benak mereka, seakan menyambut kedatangan seorang raja maka pendapa itu semakin malam semakin penuh dengan orang - orang yang ingin menyatakan kegembiraannya. Ki Demangpun telah menjamu mereka semuanya, semua makanan yang ada di dapurpun telah mengalir menuju pendapa. Orang tua itu tak henti - hentinya menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan katanya kepada Ki Jayaraga saat mereka berada disudut pendapa itu,” Aku merasa aneh Ki Jayaraga, kenapa orang - orang selalu bertanya kepadaku ? Seolah aku telah terilbat dalam perjalanan Swandaru, seolah aku telah pergi ke Menoreh.“ Ki Jayaraga tersenyum simpul, katanya,” Itulah kelebihan Ki Demang, mereka sangat mencintai dan menghormati pemimpinnya, jiwa dan hati mereka telah tertambat pada tanah kelahiran serta kecerahan hati Ki Demang sekeluarga.” Di dalam rumah, kegembiraan Swandaru terasa sedikit terkurangi, saat satu pertanyaan melintas di benaknya,” Apakah keperluan Rudita datang ke Sangkal Putung ? Apakah perlunya Rudita menemui Pandan WangI ?” “Pada saatnya aku akan mengerti” gumamnya dalam hati, pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri. Bersamaan waktu, malam itu wayah sepi bocah, nampak seekor kuda bergerak perlahan mendekati Kepatihan, tergurat seleret keraguan di wajah penunggangnya tetapi kuda itu terus mendekat ke arah kepatihan, sampai saatnya seorang pengawal menegurnya, “Berhenti ki sanak,” Penunggang kuda itupun telah meloncat turun dan segera memberi salam, pengawal yang menghentikan kuda itu segera melangkah maju, diamatinya sejenak wajah penunggang kuda itu , lalu beberapa pertanyaanpun telah meluncur dari mulutnya,” Siapakah ki sanak ini ? Hendak kemana malam - malam begini ?” “Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, ki sanak, Apakah Ki Patih Mandaraka ada di Kepatihan ?” tanya penunggang kuda itu. Pengawal itu tidak segera menjawab pertanyaan orang itu, diperhatikannya wajah penunggang kuda itu, seraut wajah yang bersih dengan kumis tipis melintang rapi, ternyata mata pengawal itu tidak hanya berhenti pada wajah orang itu, diamatinya seluruh pakaian dan punggung orang orang yang baru datang itu,” Tentu orang ini adalah bangsawan menilik pakaian yang dikenakannya” pikir pengawal itu, namun hatinya terasa berdebar - debar ketika tidak terlihat olehnya keris yang terselip di pinggang belakang orang berkuda itu.” Apakah orang ini tidak membawa piyandel ? Biasanya seorang bangsawan selalu membawa keris kemanapun pergi” “Ki Sanak siapakah namamu ? Ada keperluan apa menghadap Ki Patih saat malam begini ?” Penunggang kuda itupun menghela nafas, dia sangat memahami sikap pengawal Kepatihan itu, sikap hati - hati. “Apakah aku harus berterus terang ataukah aku akan memakai nama lain sehingga terkesan lebih pantas,” pikiranya. Orang berkuda itu merasa geli atas sikapnya sendiri, saat ini ia berpakaian rapi dengan ikat kepala yang rapi pula, tidak seperti biasanya, apakah nama kesehariannya sesuai dengan pakaian yang dikenakannya itu ? Saat pikirannya tengah mengembara, keputusan telah diambilnya dan ia akan berterus terang saja supaya semua bisa berjalan cepat dan lancar, lalu katanya,” Namaku Timur… Timur Pamungkas, kisanak” kata orang itu perlahan. Pengawal yang telah memberhentikannya itu nampak mengingat - ingat namun nama Timur Pamungkas benar - benar sebuah nama yang belum pernah didengarnya. Sementara pengawal yang masih berdiri di gardu itu merasa curiga, mengapa kawannya belum juga selesai berbincang dengan penunggang kuda itu, segera saja dia melangkah mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi, setelah mendekat katanya,” Apa yang terjadi ? Apa yang di kendaki orang ini adi ?” “Orang ini ingin menghadap Ki Patih sekarang, malam ini” jawab pengawal pertama “Siapa namanya” Tanya pengawal yang kedua. “Raden Timur Pamungkas” jawab pengawal yang pertema. Nampak orang berkuda itu sedikit terkejut ketika mendengar nama yang disebut oleh pengawal yang pertama itu, cepat - cepat orang berkuda itu menyahut,” Tidak ada Raden, hanya Timur Pamungkas itu saja ki sanak” Tetapi pengawal yang pertama itu justru tersenyum, sangat mengherankan, katanya” Ki sanak, melihat pengadegmu sebenarnya sebutan Raden sangat cocok dikenakan pada namamu, atau jika tidak maka kata Pangeran mungkin lebih cocok.” Orang berkuda yang bernama Timur Pamungkas itu tertawa kecil, baginya pengawal itu hanya bergurau tanpa menyadari arti dari kata - katanya. “Terserahlah padamu kisanak, Ki Patih tentu sudah menungguku, mumpung belum terlalu malam” kata penunggang kuda itu. Pengawal yang datang kedua itu segera bergerak, sambil berkata,” Adi tetaplah disini, biarlah aku yang akan menyampaikan kepada pengawal dalam, aku tidak tahu apakah nanti kisanak bisa diterima sekarang atau mungkin besok,” “ Terima kasih ki sanak, aku akan menunggu,” Sahut Timur Pamungkas perlahan. Pengawal kedua itu telah berjalan dengan cepat, masuk ke dalam istana kepatihan dan menghadap pimpinan pengawal dalem, segera disampaikan maksudnya. Pemimpin pengawal dalam itu segera mengerutkan dahinya ketika mendengar keterangan pengawal yang baru datang itu, hari ini telah terlampau malam untuk menghadap Ki Patih, tidak biasanya seseorang akan datang ke Kepatihan saat seperti ini, hanya beberapa Pangeran saja yang diperkenankan menghadap. Sejenak keraguan telah menghadangnya,” Bagaimana kalau yang dibawa tamu itu merupakan berita yang sangat penting ?” gumamnya dalam hati. Sebelum pimpinan pengawal dalam itu menemukan jawaban, terdengarlah suara derit pintu terbuka, sesosok tubuh dengan pakaian sangat rapi telah keluar dari ruangan dalam, seorang yang sudah sepuh meski wajahnya tetap memancarkan kewibawaannya. Terlonjak kaget semua pengawal itu, segeralah mereka menyembah dan manghaturkan kata,” Ampun Ki Patih” Orang tua itu tersenyum, sembari berkata,” Kenapa kalian tidak cepat - cepat memberitahu jika ada tamu ?” “Ampun Ki Patih, hamba ragu - ragu sebab hari telah malam,” jawab pemimpin pengawal dalam itu. Ki Patih tetap tersenyum, lalu katanya,“Baiklah, aku mengerti apa yang kau pikirkan, sekarang ikutlah denganku, menyambut tamu kita.” Ki Patih telah bergegas melangkahkan kakinya ke regol kepatihan, pengawal dalam pun telah mengikutinya dari belakang. Pertemuan yang sangat mengharukan, sebuah penantian yang cukup menegangkan bagi Ki Patih Mandaraka. Sepasang tangan tua itu telah menggenggam pundak tamunya dan tidak cukup itu saja, meski sesaat, Ki Patih Mandaraka seorang penasehat Mataram yang sangat disegani lawan ataupun kawan itu telah memeluk erat tubuh itu, tiada kata terucap, getar perasaan hormat telah mengaliri seluruh urat nadi kedua orang tua itu. Para pengawal yang berdiri disekitarnya terasa bagaikan bermimpi melihat kejadian itu, belum pernah mereka melihat tingkah laku sesembahannya seperti itu, tanpa sadarnya mulut mereka ternganga dan beberapa diantaranya telah menggosok - gosok matanya seolah mereka tak percaya. “Assalamualaikum Ki Patih,” Itu saja kalimat yang meluncur dari seorang Timur Pamungkas. “Iya - iya Kyai, waalaikumsalam” terbata - bata Ki Juru Martani menjawab salam itu Ki Patih itupun telah menguasai perasaannya, dengan tertawa perlahan dipandanginya wajah tamunya, sementara tangan itu masih melekat di pundak itu,” Luar biasa Kyai, luar biasa, Kyai nampak segar, lebih muda dan lebih perkasa,” “Ah, malam - malam begini Ki Patih masih sempat bercanda” Sahut orang itu, segeralah tangan Kyai Grinsing pun menjabat tangan Ki Patih Mandaraka itu. “Marilah masuk, aku tidak mempersiapkan apapun untuk menyambut kedatanganmu ini, Kyai” kata Ki Patih sembari melangkahkan kakinya kearah pendapa Kepatihan dan selanjutnya kedua orang tua itu telah melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. “Terima kasih, tinggalkan kami berdua.” terdengar kata Ki Patih kepada para pengawalnya, saat keduanya telah duduk. Keduanya saling menanyakan kabar masing - masing setelah sekian lama tidak bertemu, sendau guraupun telah menyertai perbincangan kedua orang tua itu. “Siapa lagi nama yang akan Kyai pergunakan” tanya Ki Juru Matani sembari tertawa tertahan. Kyai Gringsing nampak tersenyum, katanya” Berbahagialah Ki Patih yang hanya punya satu nama, ki Juru Martani” “Kenapa Kyai ? Bukankah menyenangkan, jika kita punya banyak nama ?” tanya Ki Patih Mandaraka yang nama aslinya adalah Juru Martani itu. “Aku sering lupa dengan namaku sendiri Ki Juru,” jawab Kyai Gringsing, segeralah ruangan itu di penuhi gelak tawa kedua orang tua itu. “Nah, siapakah yang bersalah Kyai ?” “Aku sendiri” jawab Kyai Grinsing sambil tertawa. Nampaknya keduanya telah lupa dengan umur mereka masing - masing, keduanya tengah terlibat dalam pembicaraan yang sangat menyegarkan, kenangan mereka telah mengalir perlahan menyusuri waktu yang telah berlalu, saat - saat mulai menebang alas mentaok dan menjadikannya sebuah negeri yang besar, merekapun mengenang sosok Ki Ageng Pemanahan dan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelarPanembahan Senopati, dua orang ayah dan anak yang telah meletakkan dasar yang kokoh bagi tegaknya negeri Mataram. Pembicaraan yang menyenangkan itu telah berlangsung beberapa lama, sampai pada saatnya Ki Patih mandaraka, berkata” Kyai, silahkan beristirahat di gandok yang telah dipersiapkan, besok kita sambung lagi pembicaraan ini tetapi sebelum Kyai meninggalkan tempat ini, ada satu pertanyaanku yang segera ingin mendapatkan jawabannya” “Pertanyaan apakah itu Ki Patih ?” tanya Kyai Gringsing dengan kening berkerut, terasa dadanya berdebar - debar. Nampak Ki Juru membetulkan tempat duduknya dan bergeser sejengkal mendekat, lalu katanya” Apakah Kyai mengenal Adipati Surabaya ?” Sesaat Kyai Gringsing terdiam, dicobanya mengingat - ingat nama beberapa Pangeran terakhir dari Majapahit baik yang dikenalnya secara langsung ataupun nama yang pernah disebutkan oleh kakek serta gurunya sebelum pergi. Ternyata dia benar - benar tidak menemukan nama yang terkait dengan keberadaan Adipati Surabaya itu. “Ternyata aku telah kehilangan perhatian terhadap perkembangan di daerah bang wetan, aku tidak mengerti lagi apa yang telah terjadi, tentang Mataram pun saat sekarang aku juga kurang memahami apa sebenarnya yang tengah terjadi, kepergianku dari Jati Anom benar - benar membuatku tenggelam,” gumamnya dalam hati. selanjutnya” Aku telah menentukan jalanku sendiri” Orang tua itu sama sekali tidak pernah menyesali keputusannya. “Ki Patih Madaraka, mohon ampun yang sebesar - besarnya bahwa hamba tidak menemukan nama yang bisa dikaitkan dengan Adipati Surabaya, bahkan tentang Adipati itu sendiri hamba juga belum mengenalnya” kata Kyai Gringsing apa adanya Ki Patih pun tersenyum mendengar kata - kata itu, dipandanginya wajah sahabatnya itu, seolah telah melupakan perkataan yang baru saja didengarnya, katanya kemudian” Kyai, berbicara kepadaku sangatlah berbeda dengan saat kita berbicara kepada Sinuhun Prabu, aku telah mengerti siapa Kyai sebenarnya, kumohon Kyai dapat berbicara padaku dengan bahasa seorang sahabat sebagaimana bahasa Kyai saat berbicara dengan adi Pemanahan, dengan begitu aku akan merasakan arti sahabat yang sebenarnya.” “Tetapi, Ki Juru adalah seorang Patih Mataram” sahut Kyai Gringsing “Sedangkan Kyai adalah seorang Pangeran Majapahit” sahut Ki Pati tak kalah cepatnya. Keduanya tersenyum, persahabatan yang tulus diantara mereka, benar - benar terasa menyejukkan. “Baiklah, ternyata tidak ada pengetahuanku tentang Surabaya yang melebihi pengetahuan yang ada dalam diri Ki Patih, aku mohon maaf” kata Kyai Gringsing tulus. “Tidak apa - apa Kyai, di waktu mendatang kita akan mencari keterangan tentangnya, sekarang aku persilahkan untuk beristirahat, besok akan banyak yang harus kita bicarakan, aku mohon Kyai bermalam beberapa hari di Kepatihan, sebenarnyalah kehadiran Kyai sangat diharapkan oleh Panembahan Prabu, besok atau lusa kita akan menghadap.” “Baiklah Ki Patih” jawab Kyai Grinsing. Keduanya pun segera berpisah. Malam telah semakin larut, para prajurit Mataram yang bertugas pun semakin siaga, beberapa kelompok prajurit berkuda telah meronda mengelilingi kota, mereka menjaga setiap jengkal wilayah, tlatah Mataram adalah harapan bagi mereka yang hidup diatasnya. Mataram telah menjadi sunyi dan sebagian besar rakyat Mataram pun telah tertidur dengan pulasnya. tetapi tidak demikian yang terjadi pada Kyai Gringsing, sosok tua itu telah duduk di lantai di dalam biliknya. Banyak persoalan yang telah membelit benaknya, tugas yang diembannya ternyata tidaklah ringan,” Apakah aku akan sanggup melaksanakannya ?” pertanyaan yang selalu mengganggunya, sebuah pertanyaan yang akan terjawab seiring waktu berjalan. Orang tua itu telah menundukkan kepalanya, ia mencoba untuk mengurai persoalan yang diberikan oleh Sunan Muria kepadanya,” Ini adalah kesempatan terakhir bagiku, umurku sudah terlalu banyak, aku akan berbuat sebaik - baiknya sesuai pesan Kanjeng Sunan” Dipandanginya seluruh dinding bilik itu, juga tempat rebahan di depannya, ia pun segera tersenyum kecil, baginya berada didalam bilik di Kepatihan yang bagus dan rapi itu adalah merupakan sebuah keanehan, sejatinya bahwa dia berhak mendapatkan seperti apa yang didapatkan para Pangeran dalam hidup kesehariannya tetapi justru semua kemewahan itu telah ia tinggalkan, rasa kecewa yang di mulai dari kehidupan kakeknya serta kekecewaan yang dirasakannya sendiri terhadap lingkungan disekitarnya saat itu terus menderanya, sampai suatu saat benar - benar telah melemparkannya pada dunianya yang sekarang. Di dalam bilik Kepatihan itulah dia akan memulai menjalankan suatu tugas yang teramat berat, sebuah kewajiban diakhir perjalanan hidupnya. “Kyai Gringsing telah aku kuburkan di lereng merapi itu,” terdengar desahnya perlahan, orang tua itu merasa bahwa tidak mungkin lagi dia menggunakan nama itu, dengan nama itu tentu orang akan berbondong - bondong datang menemuinya untuk berobat, sedangkan saat ini seolah dirinya tidak mempunyai waktu yang banyak, kewajiban baru telah menunggunya. “Sebaiknya aku memenuhi saran Kanjeng Sunan Muria, untuk menggunakan namaku sendiri,” Seberkas keraguan telah melintas di hatinya. Pamungkas adalah nama yang telah dilupakan orang. “Hem.. Panembahan Pamungkas, sebuah nama yang terlalu baik dan sekaligus berat bagiku” Wajah tua itu sempat menegang sesaat, ternyata selama kepergiannya ke bang kulon, putra Sunan Kalijaga itu bersama para santrinya telah membangun padepokan kecil ditepi sungai di kaki Merapi. Terngiang pesan Kanjeng Sunan Muria lewat pameling,” Raden, sebelum ke Muria sebaiknya berdiamlah dahulu di sebuah padepokan yang aku beri nama Ngadem di kaki gunung Merapi, ada beberapa santri Muria yang telah menunggumu disana, pergunakanlah nama Panembahan Pamungkas untuk tetenger Raden dan aku akan mengunjungi Raden seperti saat yang telah aku janjikan.” Sebuah perhatian yang terlampau berlebihan, mata tua itu telah memandangi kedua belah tangannya, tanpa sadar pandangan itu telah berhenti pada sebuah gambar ciri perguruan kakeknya, sebuah lukisan yang melekat pada pergelangan tangannya.” Hem..apakah masih ada orang yang mengingat gambar seperti ini ?” Orang tua itu sama sekali tidak mengira bahwa ciri perguruan kakeknya telah menuntunnya pada keberadaanya saat ini, sehelai cambuk dengan sebuah cakra bergerigi sepuluh di ujungnya. Kyai Gringsing terlihat menarik nafas dalam - dalam, pikirannyapun segera berpindah kepada seorang putra Sunan Kalijaga, dari Sunan Murialah dia mendapatkan banyak keterangan tentang Mataram saat ini. Menurut Sunan Muria bahwa persoalan yang bakal timbul di Mataram sekarang ini adalah jauh lebih rumit dibandingkan saat - saat berdirinya, meskipun demikian Wali waskita itu tidak akan membiarkan Mataram runtuh, baginya Mataram adalah simbol perjuangannya dalam menyebarkan agama serta keyakinan yang telah dianutnya. “Raden, apapun yang bakal terjadi, Mataram harus tetap diselamatkan, keyakinanku terhadap Mataram telah melebihi keyakinanku terhadap negeri - negeri yang lainnya di Jawadwipa ini dan aku juga berharap banyak pada muridmu, putra Ki Sadewa itu” Kokok ayam telah terdengar bersautan, tetapi orang tua itu belum juga selesai dengan angan - angannya, sesaat orang tua itu telah memejamkan matanya, dalam waktu yang tidak terlalu lama telah ditiliknya kembali sebangsal ilmu dan pengetahuannya,” Semoga pengetahuan yang tak seberapa banyak ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.” Orang tua itu segera berdiri takkala mendengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari Kepatihan itu, segera ia menuju ke pakiwan dan selanjutnya kakinya telah melangkah meninggalkan Kepatihan menuju tempat adzan yang tadi telah berkumandang. Di Sangkal Putung, Rudita, Ki Jayaraga dan Sukra telah berjalan - jalan mengelilingi padukuhan induk kademangan Sagkal Puting, ketiga orang itu benar - benar sangat mengagumi keindahan alam yang terhampar luas di daerah kelahiran Swandaru itu, Sukra pun nampak selalu memuji keindahan kademangan itu. “Kyai, aku melihat Sangkal Putung ini saat sekarang telah maju sangat pesat, banyak sekali aku jumpai bagunan rumah yang besar - besar dan kegiatan di pasar juga nampak lebih ramai” kata Rudita “Benar angger Rudita, aku merasakan bahwa Ki Demang yang sudah sepuh itu bersama anakmas Swandaru telah benar - benar berhasil dalam membangun kademangan ini” sahut Ki Jayaraga. “Kyai, selama keberadaanku disini, akan kumanfaatkan untuk belajar pertanian dan apabila aku kembali ke Menoreh maka akan segera aku terapkan ilmu dari Sangkal Putung ini,” kata Sukra sambil memandang wajah Ki Jayaraga. “Bagus sekali Sukra, Menoreh akan berbangga memiliki pemuda sepertimu” “Bukan itu yang kumaksud, Kyai” sahut Sukra, sementara Rudita hanya tersenyum mendengar perbincangan itu. “Aku ingin sawah kita mendapatkan hasil yang lebih bagus lagi Kyai, aku akan tunjukkan kepada kakang Glagah Putih bahwa aku mampu mengolah sawah itu tanpa dia” Sukra telah meneruskan kata - katanya. Kali ini Ki Jayaraga tidak sekedar tersenyum tetapi orang tua itu telah tertawa terkekeh - kekeh, Rudita pun juga tertawa.” Kenapa, semua tertawa ? Aku mengatakan yang sebenarnya , apakah ada yang lucu” kata Sukra sembari memberhentikan langkahnya. “Kata-katamu benar Sukra, tidak ada yang lucu” kata Rudita “Nah, apa alasannya kakang tertawa ?” “Aku tertawa setelah melihat Ki Jayaraga tertawa” jawab Rudita sekenanya dan sambungnya,” Tanyalah kepada Ki Jayaraga, kenapa tertawa ?” Sukra pun telah mengalihkan pandangannya ke arah Ki Jayaraga, katanya” Kenapa Kyai tertawa ?” “Sukra, ternyata dalam kepergianmu yang lumayan jauh ini, kau tidak melupakan nama Glagah Putih” jawab Ki Jayaraga. Sukra nampak menganggukkan kepalanya, baginya seorang Glagah Putih adik sepupu Ki Rangga itu adalah sosok yang menjengkelkan tetapi sekaligus menyenangkan, tiba - tiba sebuah kerinduan telah duduk dan mendekam dihatinya. Sebelum wayah temawon, ketiganya telah kembali ke rumah Ki Swandaru, mereka duduk di sudut pendapa, tidak beberapa lama kemudian nampak seorang perempuan telah menyuguhkan minuman dan jajanan pasar Di pendapa itu hati Rudita benar - benar merasakan kegembiraan, pembicaraan ketiganya sama sekali tidak menyentuh hal - hal yang mencemaskan hatinya, Ki Jayaraga selalu bercerita tentang kesibukannya memperbaiki pematang sawah dan Sukrapun selalu berbicara tentang sawah dan hasil panennya. Keceriaan di kademangan Sangkal Putung itu rupaya juga telah menular hingga di pendapa Kepatihan Mataram, terlihat Ki Juru Martani sedang duduk berhadapan dengan sahabatnya itu, namun Ki Patih Mandaraka itu telah nampak sedikit kebingungan, sedikit keraguan hinggap didadanya,” Bagaimana aku harus memanggilmu, Kyai ?” “Kenapa ?” tanya Kyai Gringsing itu. “Sebenarnyalah aku menjadi bingung, nama Kyai yang sebenarnya telah membuat ku berdebar - debar” jawab Ki Patih sembari tertawa kecil,lalu” Ki Pamungkas serasa kurang pas, Kyai” “Ki Juru, panggil saja aku dengan Pamungkas, itu sudah lebih dari cukup” kata Kyai Gringsing perlahan. “Kyai Pamungkas, juga kurang cocok, aku akan memanggilmu Panembahan Pamungkas,Kyai” kata Ki Patih Mandaraka Mendengar itu, Kyai Gringsing terlihat tersenyum malu, katanya” Ki Patih, rasanya terlalu berat aku menggunakan gelar dan nama itu.” Terdengar Ki Patih tertawa perlahan, lalu katanya,” Panembahan, dengarlah, saat tengah malam seseorang telah berbisik kepadaku lewat pameling menanyakan akan keberadaan Kyai Gringsing dan akupun telah menjawabnya, bahwa saat ini Kyai tengah berada di Kepatihan dan rupanya bisikan itu mengatakan, Kyai Gringsing sudah tidak ada lagi dan yang datang ke Kepatihan itu sebenarnyalah adalah Panembahan Pamungkas dari padepokan Ngadem di kaki Merapi, pameling Sunan Murialah yang telah mengatakan semuanya padaku.” Kyai Gringsing yang sekarang bernama Panembahan Pamungkas itu tertawa meski tidak terlalu keras, lalu katanya,” Rupanya Kanjeng Sunan Muria telah mengkhawatirkan diriku, Ki Patih,” “Kenapa ? Apakah Sunan Muria tidak tahu akan kemampuan seorang Panembahan Pamungkas ?” tanya Ki Patih yang diiringi derai tawa. “Dengarlah baik - baik Ki Juru martani, adakah ilmu yang bisa melawan jika seseorang telah ditolak saat bertamu ? Nah ternyata Sunan Muria telah memperhitungkan itu” kata Panembahan Pamungkas. Mereka berdua ternyata sudah lupa akan usia mereka, keduanya telah tertawa terkekeh - kekeh sampai tubuh keduanya berguncang - guncang. Ternyata Ki Juru Martani tak mau kalah, disela - sela derai tawanya, telah terselip kata - katanya,” Ada .. ada Panembahan, aku akan terapkan ajian Tebal Wajah, bagaimana ?” Suasana di pendapa Kepatihan itu benar - benar sangat menyenangkan, beberapa abdi dalam pun telah tersenyum mendengarkan gurauan kedua orang tua itu. Bumbung 7 Mohon maaf atas permintaan Ki Agus Malindo yang menuliskan Mendung di Lereng Merapi, maka unggahan naskah di blog ini kami hentikan, dan yang sudah diunggah kami “pending” sampai waktu yang tidak ditentukan.

mendung di lereng merapi 7